22. Bisik-bisik Warga

293 28 0
                                    

Vote sebelum baca! Share juga ya!

~*~

Hari berganti berganti hari. Mereka mulai mendirikan TPQ/TPA lagi. Namun bukannya jadi TPQ/TPA, musala itu malah menjadi rumah dari puluhan laba-laba.

Alasan TPQ/TPA ini gagal karena mereka sudah takut untuk mengaji lagi. Mereka takut ada hantu yang menerornya lagi. Kini trauma mereka tak bisa hilang. Keempat mahasiswa itu sulit untuk mematahkan argumen tentang Hantu Musala.

Pagi ini tampak burung gereja menari-nari di setiap kabel yang melintang di langit. Disusul udara dingin yang membuat embun menempel pada daun-daun pekarangan rumah.

Keempat mahasiswa yang tersisa duduk berjongkok, menyatukan tangan mereka masing-masing, dan komat-kamit membaca doa.

Di bawahnya ada sepetak makam kecil yang isinya hanya kepala manusia. Mereka berdoa di sana. Di makam Dusyan.

Ini bukan sembarang perkara. Beberapa hari yang lalu Dusyan meneror mereka, membuat ketakutan dan trauma yang mendalam. Keempat sahabatnya itu hanya ingin Dusyan tenang di alam sana. Mereka ingin, Dusyan tak meneror warga lagi.

"Untuk menentramkan Arwah Dusyan, kita perlu berdoa agar ia tenang di alam sana," ucap Rahman, kemudian tersenyum tipis.

"Kasihan Dusyan, beberapa hari yang lalu ada laporan tentang Hantu Dusyan yang meneror warga dan meminta mereka salat. Padahal yang saya tahu salat tidak boleh dipaksa," balas Aisyah kemudian mengusap nisan Dusyan. "Syan, kamu perlu tahu, salat itu tidak boleh dipaksakan. Salat itu dari hati. Kalau kamu maksa dengan menghantui warga, kamu salah, Syan. Kamu harus tenang di sana supaya kita juga tenang. Supaya misi kita juga bisa berjalan lancar. Kamu mau desa ini beriman lagi, kan? Percayakanlah pada kami. Kamu tidak sendiri. Kamu ada kami!"

Aisyah perlahan meneteskan air matanya, kemudian mengusapnya. Ia sesenggukan dan sesekali menarik napas.

Nina yang melihat Aisyah menangis langsung mengusap punggung Aisyah. Memang tak mudah melupakan orang yang benar-benar ada di hatinya.

Aisyah berdiri, mengambil kendi yang sudah di letakkan di atas makam Dusyan. Wanita itu ingin mengisinya dengan botol air mineral yang ia bawa. Segera Aisyah menumpahkan semua air ke kendi itu dan meletakkan lagi kendi itu ke tempat semula. Sisa airnya hanya dicucurkan sepanjang makam Dusyan.

Nina membuka kresek plastik yang isinya bunga tujuh rupa. Nina mengambil segenggam lalu menaburkannya di atas makam itu. Demikian pula dilakukan oleh Arif, Rahman, dan Aisyah. Mereka juga menyebarkan kembang itu sepanjang makam Dusyan.

"Eh, hari ini Pak Joko meminta kita membuat pempek, tapi bahan-bahannya tidak ada. Kamu jadi beli kan, Nina?" tanya Aisyah.

Nina mengangguk, "Iya akan aku belikan. Warung Ning Sum baru buka malam. Katanya Ning Sum habis hadir di acara pernikahan ponakannya."

Keempatnya segera meninggalkan makam itu. Aisyah sempat terhenti di gapura makam. Firasatnya tak enak. Angin mengembus ke arah hijab Aisyah sampai berkibar.

Aisyah menyentuh dadanya, merasakan jantung yang berdebar hebat. Aisyah tahu ada orang di belakang. Dengan keringat yang mengucur deras, Aisyah memberanikan dirinya melihat ke arah belakang. Pelan-pelan Aisyah merotasikan kepalanya ke arah belakang.

Aisyah melotot, langsung lemas dibuatnya. Mulutnya ternganga. Ia melihat sosok itu. Sosok dengan pakaian serba putih dengan mata sipit dan hidung kearab-arabannya yang khas. Ia Dusyan. Melambai ke arah Aisyah seakan mengucapkan salam perpisahan dan rasa terima kasih.

Aisyah tersenyum kecil, kemudian membalas balik lambaian sahabatnya. Kau harus tenang sekarang!

Arif menyentuh tubuh Aisyah. "Eh, eh ngapain kamu senyum-senyum sendiri? Mana dadah-dadah lagi. Kamu lagi dadah ke siapa?"

Aisyah tersadar, sikapnya langsung tak normal. Aisyah terlihat gugup. "Emmm ... bukan apa-apa!"

Matahari kini telah istirahat berganti bulan yang menyinari malam. Seperti janji yang sudah disepakati, hari ini Nina akan membeli bahan-bahan untuk membuat pempek. Nina sudah menyiapkan list apa saja bahan yang akan dibeli seperti kanji, ikan, dan gula merah untuk cuko. Bahan-bahan yang lain sudah tersedia di rumah.

Nina berjalan ke luar rumah. Warung Ning Sum hanya berjarak beberapa meter saja, jadi Nina tak perlu menguras energinya untuk membeli bahan-bahan ke pasar pagi dengan jarak yang sangat jauh bahkan keluar desa.

Nina sampai di toko Ning Sum kemudian membayar uangnya dan mengambil barang itu. Kini Nina akan kembali ke rumah.

Nina berhenti sejenak. Ia melihat beberapa warga berkumpul di pos ronda membicarakan sesuatu. Dari gaya diskusi mereka sepertinya ini adalah diskusi yang serius.

Mereka melakukan gerakan duduk melingkar sembari bergandengan tangan satu sama lain. Nina yang kepoan ingin sekali mengintip kegiatan tersebut. Nina penasaran, kegiatan macam apa yang mengharuskan mereka rapat seperti itu?

Nina mengernyit, mencoba berdiri di balik semak-semak. Ia mengusahakan agar tidak ketahuan.

"Hahaha. Naryo, kau benar-benar jenius. Kau berhasil, Naryo! Selamat atas keberhasilanmu. Tak sia-sia kami mengangkatmu jadi kepala desa ...." ungkap Pak Surya sambil terkekeh.

Pak Naryo tersenyum sadis. "Sudah tugasku untuk melindungi desa ini. Tugasku juga yang telah membuatnya subur, makmur, dan bahagia."

"Orang kota itu tak tahu kita memanfaatkannya!" seru Pak Andi.

Nina mengernyit heran. Ia agak sedikit mencondongkan kepalanya ke depan. Ia ingin mencari tahu lebih karena Nina merasa yang dibicarakan mereka adalah dirinya dan teman-temannya.

"Dusyan, pria goblok itu tidak tahu bahwa dia dijebak. Sungguh malang. Setelah ini, jin akan membawa lebih banyak keberkahan pada desa ini!" ungkap Pak Naryo, kemudian tersenyum sumringah.

Mata Nina melotot. Tak sangka Pak Naryo ternyata dalang di balik semua ini. Nina menjatuhkan barang belanjaannya. Suara benda itu terdengar keras, membuat mata warga desa beralih ke arah semak-semak.

"KEJAR DIA!" seru Pak Naryo memerintah warga desa untuk menangkap siapa yang mengintip di balik semak-semak.

Nina menggas-menggos, perlahan keringatnya jatuh satu persatu. Ia sudah tak mempedulikan belanjaannya lagi. Langsung Nina berbalik, kemudian mencoba berlari.

Nina bukan pelari andal. Warga berhasil mengepungnya. Kini warga tahu, Nina adalah orang di balik semak-semak itu.

"Mau apa kalian!" seru Nina.

Pak Naryo mendekat, kemudian menyisiri tubuh Nina dari atas ke bawah. "Kau seksi juga."

Nina mengangkat tangannya, kemudian menampar pria itu. "KURANG AJAR!"

Nina tak tau arah, matanya pencilatan sana-sini mencari jalan untuk kabur. Nina melihat pasir-pasir yang diinjaknya. Tangannya ke bawah, menggenggam pasir itu kemudian dilemparkannya ke arah warga.

Warga pada memegangi matanya yang sakit. Mata itu memerah akibat pasir yang memasukinya. Nina memanfaatkan ini untuk lari. Segera Nina mencari jalan untuk pulang.

Nina berlari, sementara warga masih membersihkan matanya. Tak lama Nina sampai. Ia mengetuk-ketuk pintu itu dengan kasar. Napasnya memburu, keringatnya sampai membuat basah kaos yang dipakainya. Nina kali ini terancam. Ia takut mati ....

~*~

Aduh Ninaa ketahuan! Gimana ini?!!
Semoga Nina bisa selamat ya:'
Sidoarjo, 27 Juni 2023
Authormu 💛

Hantu Musala: Imam (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang