"Seriusan ini cerai aja pake party?" Tanya Nabila takjub setelah mendengar penjelasan dari bosnya.
"Orang kaya yang udah bingung ngabisin uangnya, Nab." Sahut Salma salah satu rekan kerja Nabila.
"Ya pokoknya gitu lah ya, gue tunggu konsep dari kalian, Evelyn mau Jumat nanti kita udah presentasiin konsep terbaik kita." Paul menjentikkan jarinya lalu menunjuk Salma dan Nabila bergantian. Kedua gadis yang duduk di depannya itu saling bertukar tatapan pasrah.
"Jumat banget sih Bos. Seninnya gue jadwal sidang skripsi nih, mana bisa mikirin konsep." Keluh Nabila.
Nabila adalah mahasiswa semester akhir yang baru saja melewati terjalnya menyusun skripsi dan kini tersisa satu langkah lagi untuk merampungkan studinya. Satu tahun terakhir ia bekerja di salah satu perusahaan Event Organizer. Bukan perusahaan besar memang, tapi Nabila nyaman bekerja di tempat bernama Moon Event.co ini, selain itu tentu saja cuannya lumayan.
"Siapa yang pas awal ketemu bilang jago banget soal time management?"
Nabila mendengus kesal, Paul selalu menjadikan kalimat itu sebagai senjata saat Nabila mengeluhkan waktunya yang padat. Kalimat yang diucapkannya ketika dulu Paul sempat ragu untuk menerima gadis itu bekerja dengannya.
Paul tersenyum melihat Nabila menekuk wajahnya karena kesal. "Gak usah cemberut gitu, tolong masakin indomie kaya biasa ya." Titah Paul.
Nabila menggeram, kadang ia bingung entah suasana kekeluargaan yang ada di tempat ini adalah keberuntungan atau kesialan untuknya. Masalahnya saking akrabnya dia dengan Paul, Laki-laki yang jadi bos nya itu malah merasa bebas memerintahnya ini itu.
Sementara bagi Paul, hal itu tentu saja sebuah keberuntungan yang tidak boleh disia-siakan. Nabila si gadis polos itu adalah anak paling penurut di tempat kerjanya, ia bahkan dengan tidak tahu dirinya selalu meminta Nabila membawakan sarapan untuknya, membelikan makan siang, atau sekedar masak mie instan seperti yang dia minta barusan.
"Kan bisa bikin sendiri." Dumel Nabila.
Meski sebenarnya malas, Nabila tak urung memasak mie instan untuk Paul lengkap dengan telur dan sayur juga kuah mie yang lebih sedikit dari takaran normal, itu lah 'indomie kaya biasa' yang dimaksud Paul. Sumpah, saking seringnya Nabila sampai hapal.Positifnya, karena sudah sangat akrab Nabila juga merasa bebas bertindak apapun pada Paul tanpa merasa sungkan. Tak jarang Paul juga menjadi tempat curhat Nabila soal pacarnya, Paul is good in giving advice, indeed. Setidaknya bagi Nabila.
"Ngapain Nab?"
Itu suara Rahman yang baru saja kembali ke kantor setelah bertemu dengan tim vendor. By the way kantor yang di maksud mereka adalah sebuah rumah dengan dua kamar yang dialih fungsikan sebagai tempat bekerja oleh bos mereka.
"Masak mie, Bang Aman." Jawab Nabila malas, ia yakin Rahman sudah melihat apa yang dia kerjakan. Pertanyaan seperti ini biasanya adalah intro sebelum mengutarakan maksud sebenarnya.
"Mau dong satu ya."
Nah kan, Nabila sudah tahu sekali gelagat-gelagat menyebalkan dari para seniornya ini. Nasib jadi kacung memang, batin Nabila.
"Iya Bang Aman." Nabila sudah tidak punya mood yang bagus bahkan untuk sekedar menolak permintaan Rahman.
"Kak Salma mau gak? Biar sekalian?
Kepalang tanggung akhirnya Nabila juga menawari Salma, dari pada nanti setelah dia selesai terus ada yang minta dibuatkan lagi, ia akan lebih malas. Seandainya Novia ada disini, Nabila pasti menawarinya juga."Engga Nab, udah makan gue mah." Teriak Salma dari ruangan sebelah, mungkin dia sudah mulai memikirkan konsep tentang divorce party yang tadi dijelaskan Paul.