Holaaaaa
Maaf kesorean yaaaa...
Happy Reading :) 💜💜💜Dibanding Paul, Nabila jauh terlihat lebih resah, keduanya duduk berhadapan dengan ibu Nabila. Paul terlihat tenang, beberapa kali ia melemparkan senyum sopan pada wanita di depannya. Sementara Nabila tampak tidak tenang, ia menggosok kedua telapak tangannya yang berkeringat dingin.
Tadi Paul menjemputnya dari tempat kerja yang baru, pria itu kemudian menyatakan siap untuk menemui orang tua Nabila. Meski sebenarnya belum se-siap Paul, Nabila memutuskan untuk mengiyakan keinginan kekasihnya itu. Akan sangat tidak punya hati jika Nabila terus-terusan menolak keinginan baik Paul. Dan disini mereka berkahir, tepat di ruang tamu Nabila, duduk berhadapan dengan seorang wanita di akhir usia lima puluhannya.
"Jadi, Paul ini bos kamu di tempat yang lama, Nab?" Tanya ibunya yang Nabila yakin adalah sebuah basa-basi.
Paul mengangguk dengan senyumnya yang ramah. "Iya tante." Jawab Paul lugas.
"Oh gitu, lho kok baru main kesini sekarang? Padahal sekarang Nabila udah gak kerja di tempat nak Paul, kan?"
Nabila melirik Paul lewat ekor matanya, lagi-lagi lelaki itu tersenyum sopan.
"Sebenernya saya pernah nganterin Nabila pulang beberapa kali, cuman belum sempet mampir aja waktu itu." Paul melirik Nabila sekilas.Ibu Nabila mengangguk paham, Diam-diam ia memperhatikan sepasang manusia di depannya, Nabila lebih banyak menunduk atau membuang muka, sementara Paul duduk dengan kepala yang tegap, tidak terlihat sedikitpun kegugupan di garis wajahnya. Tipikal atasan yang memang percaya diri dan mampu menguasai kondisi.
Wanita itu berdeham, "Karena sampai menyempatkan mampir, Nak Paul pasti punya maksud lain, kan?" Tebak ibu Nabila, sebenarnya dalam kepalanya ia sudah menebak tujuan Paul menemuinya.
Paul menautkan jari-jarinya dan sedikit menggeser posisi duduknya agar lebih maju. Ia menatap lurus ke arah ibu Nabila tanpa takut atau gugup sedikitpun. "Benar tante, Paul datang bukan hanya sebagai teman Nabila, apalagi mantan atasannya." Paul membuka pembicaraannya dengan lancar dan terlihat sangat yakin.
"Paul yakin tante setuju kalau Nabila adalah gadis luar biasa, dia kuat bukan main, baik hati dan peduli, juga tahan banting." Paul menyela kalimatnya dengan kekehan. "Tapi juga selalu ceria dan...cantik." Paul menoleh pada gadis itu, memiringkan kepala hanya untuk melihat wajahnya yang akhir-akhir ini sering dia rindukan.
Ibunya masih bergeming, menanti kelanjutan kalimat yang akan diucapkan teman lelaki anak gadisnya itu.
"Tapi tante tau ga?" Paul mencondongkan tubuhnya dan sukses memancing rasa penasaran lawan bicaranya, terbukti ibu gadis itu sedikit menggeser tubuhnya lebih maju. "Nabila pintar sekali berbohong."
Nabila menoleh pada Paul dengan alis yang bertaut, lalu pada ibunya yang sekarang juga menatapnya heran.
Paul menarik napas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya. "Sering sekali wajahnya terlihat lelah, tapi dia bilang tidak apa-apa."
Lagi-lagi Nabila menoleh pada Paul, kali ini bukan sekilas, tapi menatap wajah Paul intens. Paul sendiri masih menatap lurus ke arah ibunya.
"Beberapa kali ia sedih dan menangis diam-diam, tapi saat Paul tanya dia bilang dia baik-baik saja, lalu tersenyum sampai matanya menghilang." Tawa Paul mengguar renyah, membuat Nabila terpana dan tak mampu mengalihkan atensinya pada yang lain karena sorot mata Paul saat menceritakan dirinya menjadi sangat candu bagi gadis itu.
"Paul mungkin agak sedikit bebal, karena baru menyadarinya akhir-akhir ini bahwa anak tante ini terlalu istimewa. Dan melihat betapa dia begitu istimewa, Paul ingin serakah untuk menjadikan Nabila selalu di sisi Paul. Paul tidak bisa menjanjikan kehidupan yang jauh lebih layak dari yang diberikan tante dan om sebagai orang tuanya, Paul hanya ingin selalu ada untuk Nabila, merayakan setiap bahagianya, menemani kesedihannya, mengisi rasa sepinya, memeluk tangisnya, juga bertumbuh dan memeluk mimpi yang sama."