Chapter 15

4.1K 403 63
                                    

Nabila terkikik mendengar cerita Diman tentang ngidam Salma yang aneh-aneh, ia jadi berpikir apakah Salma memang benar ngidam atau itu hanya kedoknya saja agar semua pintanya dituruti Diman.

Tapi Nabila memang salut sekali pada lelaki yang menjadi suami Salma itu. Dia bisa sesabar itu menghadapi Salma dengan  tingkah ramdomnya yang meningkat pesat selama ia hamil. Diman yang selalu memperlakukan Salma dengan  lembut dan penuh penghormatan, membuatnya masih percaya that the good guy still exist.

"Tapi lo bisa sesabar itu ngadepin, Salma." Ujar Rahman sesuai dengan apa yang ada di kepala Nabila.

"Ya kalo bukan gue yang berusaha sabar sama dia, dia mesti kaya gitu ke siapa lagi, gue suaminya."

Jawaban itu membuat Nabila bertepuk tangan. "Asli, Bang Diman gentelman banget." Puji Nabila.

"Apasih Nab, too much itu." Diman tersenyum. Sejak dulu dia memang bukan tipe orang yang suka dengan pujian.

"Kamu emang secapek itu ya ngadepin aku?" Tanya Salma dengan wajah sendunya.

Nabila, Rahman dan Novia mencebik malas. Sejak kapan Salma bisa menunjukkan ekspresi seperti itu, hanya setelah dia hamil. Lama-lama mereka bisa kesal juga dengan ibu hamil satu ini.

"Ya lo nyadar diri aja sih, Ma. permintaan lo aneh-aneh." Sela Novia. "Nabila salah satu korban lo tuh." Lanjut Novia seraya menunjuk Nabila yang tergelak.

"Ya capek sih, tapi aku seneng-seneng aja." Jawab Diman yang membuat ketiga orang itu sadar kalau mereka sepertinya sudah harus pindah planet.

"Eh gue gak liat Rony, kemana dia?" Tanya  Diman yang sejak tadi tidak melihat keberadaan Rony.

"Diajakin ketemu klien sama Paul." Jawab Rahman.

Diman tertawa mendengarnya. "Emang bisa akur mereka?" Tanya Diman ambigu.

Nabila menggaruk keningnya bingung. "Emang mereka berdua pernah gak akur?" Tanya Nabila polos.

"Ya akur sih, tapi kaya bakal jadi rival." Celetuk Novia yang disambut tawa semua orang kecuali Nabila.

"Rival gimana sih?" Tanya gadis itu semakin tidak paham.

"Lah udah deh Nab, mau ikut pulang bareng ga?" Tanya Diman yang sudah berdiri dan merangkul pinggang Salma posesif.

"Boleh emang?" Mata Nabila berbinar.

"Ayo cepet bareng aja Nab." Ajak Salma, yang tentu saja disambut bahagia oleh Nabila.

Gadis itu langsung merapikan meja kerjanya dan menyambar tas punggung warna krem bermotif daisy favoritnya.

"Bang Aman, Kak Nov, duluan yaaa." Pamit Nabila, ia melambaikan tangan pada kedua orang itu lalu mengikuti Salma dan Diman, persis seperti anak yang mengekori orang tuanya.

"Bocil banget tuh anak, gak ada peka-pekanya." Seloroh Rahman melihat Nabila berlari kecil di belakang Salma.

"Gue sih gak yakin dia se-gak peka itu." Cetus Novia.

"Maksud lo dia notice?" Rahman merangsek mendekati Novia karena penasaran.

"Ya gak tau juga sih, tapi kemungkinannya selalu ada kan." Novia mengendikkan bahu sementara Rahman mengangguk angguk sepakat dengan opini perempuan itu.

-oOo-

Diman memutar arah mobilnya menuju rumah sakit. Tadi saat ia akan mengantarkan Nabila pulang, gadis itu menerima telfon entah dari siapa dan setelahnya ia meminta Diman untuk mengantarnya ke rumah sakit.

Wajah Nabila tanpa bisa ditutupi menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Diman menahan Salma agar tidak banyak bertanya pada gadis itu. Mereka berdua hanya berbagi tatapan khawatir melihat Nabila yang tampak resah di kursi belakang, ia bahkan tidak bisa duduk dengan tenang.

Redefining Us (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang