"Kalian beneran kenal di tempat kerja?" Tanya Nadhira sambil memotong croissant-nya.
Nabila dan Paul sama-sama mengangguk, bedanya Paul tersenyum dengan tulus pada Nadhira, sementara Nabila sibuk mengunyah gibassier, menikmati rasa jeruk yang memenuhi mulutnya.
Hubungan Nabila dan Nadhira sudah jauh lebih baik dan jauh lebih akrab sekarang. Nabila bersyukur akan perubahan besar ini, meski kadang ia merasa risih karena kakaknya ternyata jauh lebih manja dibanding yang dia pikir. Nadhira bisa tiba-tiba datang ke kamarnya dan mengajak tidur berdua, atau seperti siang ini, Nadhira tiba-tiba mengajaknya pergi dan minta Nabila untuk mengajak Paul juga.
"Jadi ini jenis cinta yang bersemi karena sering ketemu, gitu?" Goda Nadhira.
"Bisa dibilang begitu." Jawab Paul, dia tersenyum dan menoleh pada Nabila, sementara gadisnya itu terlihat enggan menjawab, dia pura-pura menulikan telinganya dan sibuk dengan hidangan pastry di depannya.
"Terus siapa yang jatuh cinta duluan?" Tanya Nadhira penasaran.
"Apaan sih Kak?!" Elak Nabila berusaha menghindari topik yang diangkat kakaknya.
"Gue sih kayanya." Seloroh Paul cepat, membuat kedua kakak beradik itu mengalihkan atensi padanya.
Nabila tersedak minumannya tidak mengira Paul akan menjawab pertanyaan yang dilepaskan Nadhira. Bukan apa-apa, Nabila tidak yakin siapa yang memiliki perasaan lebih dulu, semuanya berjalan sangat alami, tiba-tiba saja perasaan itu menyatukan mereka.
"Kayak anak kecil banget sih." Ledek Paul sembari memberikan dua helai tissue.
Nadhira tersenyum penuh karena dua hal, jawaban Paul untuk pertanyaannya dan karena tingkah menggemaskan Nabila dan lelaki yang diakui sebagai teman dekatnya itu.
"Kapan rencananya kalian mau nikah?"
Mendengar pertanyaan itu Nabila sontak menoleh pada Paul. Sebagai perempuan tentu saja jawaban itu tidak bisa ia jawab begitu saja, belum lagi ibunya yang waktu itu mengaku tidak ingin ia melangkahi kakaknya. Nyatanya sekalipun dia sudah siap menikah, dia tidak bisa membuat keputusan dengan menentang ibunya kan? Menikah bukan persoalan sepele."Abis Nabila wisuda kali ya, gimana?" Paul menoleh pada Nabila.
Mata mereka bertemu, mata Paul yang tersenyum dengan manisnya dan mata Nabila yang melotot tidak percaya. Mereka tidak pernah berbicara tentang ini. Tadi apa kata Paul? Setelah Nabila wisuda? Demi Tuhan, wisudanya tinggal dua minggu lagi.
"Oh ya?" Kaget Nadhira. "Emang kamu kapan wisuda? Perasaan sidangnya udah lama banget." Nadhira beralih pada Nabila yang masih belum bisa menguasai ekspresinya.
"Wisuda aku dua minggu lagi, sidangnya emang dari empat bulan yang lalu, harusnya bulan kemaren udah wisuda tapi diundur." Jawab Nabila setelah berhasil menelan makanannya. "Kita gak pernah ngomongin ini ya, Powl." Peringat Nabila dengan tatapan yang memicing.
Paul hanya terkekeh. "Pengennya gue sih itu, Ra." Ujar Paul pada Nadhira.
"Ya bagus sih kalo kalian mah cepet nikah, buat apa juga kalian nunda nunda. Gak usah mikirin aku yang belum nikah ya, Nab." Ujar Nadhira telunjuknya mengacungkan tepat di depan wajah adiknya.
Paul menganggukkan kepala, senyumnya tak lepas dari wajah tampannya. Sementara Nabila hanya mengendikkan bahu menyembunyikan apa yang sebenarnya ingin ia ungkapkan pada kakaknya. Nadhira tidka tahu saja bahwa Nabila bukan tidak mau, tapi Nadhira-lab salah satu alasan ia menundanya.
"By the way, karena aku belum nikah, aku gak bisa kasih wejangan apa-apa ya, aku cuma bisa doain semoga kalian selalu bisa menghadapi masalah apapun yang ada di hadapan kalian, aku gak mungkin juga doain kalian biar akur terus, yang namanya hubungan pasti ada gak akurnya ga sih, tapi semoga setiap masalah bisa bikin kalian mendewasa bersama." Ujar Nadhira tulus, ia membagi pandangannya pada Nabila dan Paul bergantian.