Paul menatap Nabila lekat, berharap menemukan senyum jenaka tanda bahwa gadis itu tidak serius dengan ucapannya, namun sepertinya Nabila memang serius.
"Serius, Nab?" Tanya Paul sekali lagi.
Nabila mengangguk lemas. "Gue direkomendasiin sama dosen gue buat kerja di salah satu perusahaan." Jelasnya sambil menundukkan kepala.
"Jadi lo mau ninggalin Moon Event? Ninggalin gue?" Paul masih berharap Nabila mau mengubah pikirannya.
"Mau gak mau sekarang gue harus bisa ngecover tanggung jawab finansial keluarga gue Powl. Gue betah banget kerja sama lo, gak pernah kepikiran sebelumnya buat pindah, tapi gimana lagi."
Keduanya terdiam. Nabila memainkan kuku-kukunya. Melihat kondisi ayahnya sekarang, sebesar apapun rasa tidak sukanya, Nabila harus mengambil tanggung jawab itu. Ayahnya mungkin tidak akan bisa bekerja untuk waktu yang entah sampai kapan, dan kakaknya, ia tidak tahu apakah dia bisa mengandalkan wanita itu.
Ketika mendapat tawaran dari dosennya, ia langsung berpikir bahwa itu adalah kesempatan yang tidak mungkin ia sia-siakan. Meskipun sebenarnya ia berat sekali meninggalkan Moon Event, apalagi orang-orangnya, tapi dia tetap harus mengambil pilihan.
"Gak bisa lo pikirin lagi, Nab?" Tanya Paul ia menggenggam tangan Nabila berharap gadis itu mau mempertimbangkan lagi.
"Ini udah gue pikirin bolak balik, Powl." Desah Nabila terdengar putus asa. "Sekarang tanggung jawab gue bukan cuma diri gue sendiri." Imbuh Nabila.
Paul menengadahkan kepalanya, menatap langit yang terlihat cerah meski hari tidak terik. Diperhatikannya Nabila yang duduk di depannya, tangan gadis itu bergerak mengikuti pola yang dibentuk serat kayu pada meja yang mereka tempati di cafe itu.
"Gimana kalo kita nikah aja, Nab?" Tanya Paul tiba-tiba entah ilham dari mana.
Nabila kontan membulatkan matanya, tangannya menepuk lengan Paul cukup keras. "Lo kepentok apa sih, ngawur banget." Seru Nabila tidak habis pikir dengan ajakan Paul.
"Gue serius Nab, ayo kita nikah biar gue bisa ngambil tanggung jawab buat hidup lo."
Plaaak
Paul meringis saat tangan Nabila dengan ringannya memukul bahu Paul lebih keras dari sebelumnya.
"Gue gak mau nikah cuman biar ada yang nanggung hidup gue, alesan macam apa itu?!" Delik Nabila.
"Emang apa salahnya?!"
"Ya salah, Powl. Gue pengen nikah ketika gue emang udah siap buat nikah, dan bukan dengan niat lari dari tanggung jawab gue."
Paul mendesah berat, ia tidak berpikir akan sanggup jika tidak bertemu dengan Nabila setiap hari. Ia sudah terlalu terbiasa dengan rutinitas itu, dan pasti tidak akan mudah jika harus membiasakan diri dengan perubahan.
"Ya udah kalo lo gak mau kita buru-buru nikah paling engga lo kenalin gue ke orang tua lo, biar mereka tau kalo ada cowok yang serius sama anaknya."
Nabila mengerutkan kening merasa heran dengan sikap Paul hari ini. Dia bukannya tidak serius dengan Paul, tapi mengambil langkah yang besar seperti yang diusulkan Paul belum pernah terbersit dalam kepalanya.
"Lo kenapa sih Powl?" Nabila sengaja meletakan telapak tangannya di dahi Paul. "Lo gak demam kok." Heran gadis itu.
"Gue serius, Nab." Kesal Paul. Ia serius dengan apa yang ia katakan dan melihat respon Nabila yang seperti itu ia jelas sangat kesal.
"Usia lo udah lebih dari cukup buat nikah, gue juga. Kita udah sama-sama kenal, gue juga udah punya usaha meskipun belum bisa dikatakan besar, tapi gue yakin gue bisa menghidupi keluarga gue, terus apa lagi?" Nada suara Paul mulai meninggi, bukan marah, ia hanya gemas karena Nabila dan isi kepalanya adalah sesuatu yang selalu sulit untuk Paul terka.