Chapter 24

4K 520 191
                                    

"Nab, gak masak buat bekel?" Tanya ibunya saat Nabila keluar dari kamarnya untuk berangkat kerja.

"Nabila langsung berangkat, takut ojolnya keburu dateng." Jawab Nabila ketus tanpa menoleh pada wanita setengah baya itu.

"Sebentar, Nab..." Panggil ibunya, wanita itu mencekal tangan Nabila untuk menahan anak gadisnya.

Nabila patuh tanpa protes, gadis itu membalikan badan pada sang ibu, tapi tidak dengan wajahnya. Ibunya mendesah, anak bungsunya itu masih marah sejak beberapa hari yang lalu. Selama ini, walaupun Nabila menunjukkan rasa marah atau kesal pada orang rumah, biasanya tidak bertahan lama, berbeda dengan kali ini, dan ibunya sadar untuk kesalahan yang ia ulangi, tapi ia tidak melakukannya karena menomor duakan Nabila, sungguh maksudnya bukan seperti itu.

"Nab, ibu minta maaf kalau selama ini ibu gak adil sama kamu." Ujar wanita itu lirih.

Nabila masih enggan menatap ibunya. Ia berusaha mengatur napas dan menahan air matanya. Tidak tahu kenapa, seringnya ketika Nabila ngobrol dengan ibunya selalu disertai dengan air mata.

"Cara ibu mungkin salah, tapi ibu gak pernah berniat pilih kasih sama anak-anak ibu." Sambung ibu seraya menggenggam tangan Nabila.

"Kamu atau Dhira, ibu ingin kedua anak ibu bahagia."

Nabila menatap langit-langit rumahnya demi menahan tangis. "Tapi selama ini ibu memang selalu pilih kasih, Bu." Sahut Nabila dengan suara yang lemah, seperti ia sudah sangat lelah untuk menjelaskan perasaannya selama ini karena merasa semuanya akan percuma.

"Ibu minta maaf Nab, mungkin cara ibu memang salah, tapi rasa sayang ibu sama kalian gak pernah ibu lebihkan salah satu." Terang ibunya, dari wajahnya terlihat jelas bahwa wanita itu menyesal juga merasa bersalah pada anak bungsunya itu.

Nabila mengeraskan rahangnya. Sejujurnya ia tidak suka memenuhi dirinya dengan emosi negatif apalagi di pagi hari, karena itu akan mempengaruhi moodnya sepanjang hari. Namun situasi pagi ini ternyata tidak bisa ia hindari.

"Ya udah bu, aku ngerti." Bohong Nabila, ia tidak pernah bisa mengerti apalagi memahami kenapa sikap yang ditujukkan ibu dan ayah padanya berbeda dengan apa yang ditujukan pada Nadhira. Ia hanya pura-pura mengerti untuk menyudahi percakapannya dengan sang ibu.

"Aku pergi kerja dulu, udah mau telat." Pamit Nabila, ia tidak lupa untuk mencium tangan ibunya, walau hanya sebagai formalitas.

"Sarapan kamu, Nab." Ibunya menyerahkan kotak bekal berwarna hitam padanya.
Nabila memandang kotak itu lekat, selama ini dia terbiasa menyiapkan bekal sendiri, sebenarnya itu juga karena Paul yang selalu meminta dibawakan sarapan. Seandainya situasi ini terjadi di saat yang lebih normal, Nabila pasti akan senang atau bahkan terharu saat ibunya memberikan kotak bekal itu dengan tangannya sendiri, sayang emosi Nabila tidak mendukung gadis itu untuk merasa bahagia karena hal kecil tersebut.

"Makasih." Tukas Nabila lugas dan menerima bekal itu lalu meninggalkan ibunya cepat. Harusnya ojek online yang tadi ia pesan sudah menunggu di depan rumahnya, meski ia sedikit heran karena drivernya belum juga memberikan kabar.

Nabila terkejut, kedua matanya membelo melihat Paul yang sudah nongkrong manis dengan sepeda motornya tepat di depan rumah si gadis.

"Paul?! Ngapain?" Buru Nabila, kepalanya celingukan mencari driver ojol yang belum juga terlihat  batang hidungnya.

"Jemput kamu lah, ngapain lagi aku di sini." Katanya.

"Aku udah pesen ojol." Sahut Nabila cepat. Kebetulan saat itu seorang driver menghampiri Nabila dan Paul.

"Kak Nabila ya?" Tanyanya sopan.

Nabila mengangguk dengan senyuman tak kalah sopannya dengan driver itu. "Iya, Pak." Jawabnya.

Redefining Us (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang