Nabila merapikan hadiah kelulusannya yang lumayan banyak, hadiah dari teman seangkatan, dari adik tingkatnya, dari teman-teman HIMA dan teman-teman organisasi, juga dari Paul. Setelah itu ia merapikan sisa pesta kejutannya tadi. Ia agak kesal juga karena teman-temannya pulang lebih dulu, Salma sudah dijemput Diman tadi, Rahman dan Novia juga buru-buru pulang karena langit sudah mendung. Dan tersisa Nabila dengan bosnya yang entah sedang melakukan apa di kamar. Tadi Paul bilang akan mengantarnya pulang dan melarang gadis itu memesan ojol.
Nabila mengangkut sampah yang baru saja ia bereskan untuk ia bawa ke luar. Begitu dia akan masuk lagi ke dalam kantor, Paul sudah berdiri di depan pintu dengan wajah yang terlihat khawatir.
"Gue kira lo pulang sendiri, Cil." Ujar Paul lalu mengikuti Nabila masuk kembali ke ruangan kantor.
"Abis buang sampah, berantakan banget tadi." Balas Nabila.
Ia kemudian merebahkan tubuhnya di atas sofa, entah kenapa badannya terasa lelah, padahal aktifitasnya biasa saja. Ia juga merasa ngantuk sekarang.
"Capek banget lo?" Paul tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Ngantuk gue, Bos." Jawab Nabila tanpa membuka matanya.
"Nab, tadi gue ngeliat Aluna, maksud gue gak tau itu beneran Aluna atau mirip doang." Paul memulai ceritanya.
Nabila langsung membuka mata dan menegakkan tubuhnya. "Terus, terus?" Tanya Nabila antusias.
"Ya... Gue gak tau itu beneran Aluna atau bukan." Paul menggaruk belakang kepalanya.
"Emang gak lo samperin?" Kali ini Nabila menatap Paul heran.
"Gak kekejar, Nab." Terdengar nada kesal dari Paul.
"Emang dimana??"
"Di kampus lo." Jawab Paul ia sampai menggeser duduknya mendekat pada Nabila saking antusiasnya ia bercerita. Sementara Nabila sudah kehilangan minat karena cerita Paul tidak ada bedanya dengan cerita sebelum-sebelumnya alias tidak ada kemajuan.
Nabila heran dengan Paul, kenapa kisah cintanya statis sekali, ia kasihan dengan Paul, pasti sangat sangat menyedihkan memiliki kisah cinta seperti itu. Eh tapi kisah cintanya tidak jauh berbeda, malah lebih menyedihkan, ditinggal menikah, kurang menyedihkan apa coba kisah cinta Nabila.
"Ngapain dia di kampus Gue, Powl?" Heran Nabila.
"Mana gue tau." Paul memukul bantal sofa dalam pangkuannya.
Nabila menghela napas merasa lemas. "Sabar ya Bos. Tenang aja kalo emang jodoh pasti ketemu lagi." Nabila menepuk bahu Paul.
"Eh terus lo sama si Bang Sat itu gimana?
Tanpa jeda Nabila langsung mendengus mendengar pertanyaan Paul. " Gimana apanya maksud lo, kan udah jelas dia mau kawin sama cewek lain." Jawab Nabila ketus.
"Lo masih sedih?" Tanya Paul.
Nabila terdiam meraba perasaannya. Bohong jika dikatakan dia tidak sedih, tapi tidak seperti dugaannya, ia kira ia akan larut dalam sedihnya, tapi ternyata tidak juga, mungkin karena terdistraksi dengan sidangnya atau karena ada banyak hal yang memenuhi isi pikiran di kepalanya.
"Gak tau gue." Bingung Nabila. "Yang bikin gue kesel itu sebenernya fakta bahwa mungkin posisi gue sebagai selingkuhannya dia. I mean cewek itu mau dia nikahin kan, which is orang tuanya pasti udah tau, temen-temennya juga, lah gue?" Ngerasa gak ada harga dirinya gue sebagai perempuan Powl, cuman jadi selingkuhan doang." Nabila tertawa miris.
Jika di pikir-pikir dibanding sedih Nabila lebih merasa kesal dan marah, jika diadaptasi ke dalam cerita sinetron picisan, peran Nabila ini sudah seperti peran wanita antagonis yang merebut pacar orang tidak sih?!