CHAPTER 7 : PAH, TOLONG HARGAI NATHA.

67 10 0
                                    

TAK!

Pulpen hitam itu jatuh ke lantai. Saat tangan lentik Natha hendak meraih nya. Seseorang sudah lebih dulu mengambil benda itu dan meletakkan benda itu di hadapan sang gadis.

"Nath... Lo pegang bolpoin aja jatoh jatohan, gimana mau pegang hati gue coba?" kata pemuda itu. Seperti biasa dengan santainya dia duduk diatas meja Natha.

"Thank you," balas Natha meraih kembali benda bolpoin dan lanjut menulis, meskipun sejak tadi tangannya gemetaran.

Natha sekuat mungkin berusaha menutupi getar pada raga, tak ingin siapapun mengetahui kelemahan nya. Tak ingin memantik iba, apalagi dikasihani.

"Nathalie..." panggil Jeno yang berpindah duduk di samping Natha, sambil memandangi wajah pucat gadis itu.

Sejak tadi dia tak pernah mengalihkan pandangan barang sekejap saja. Dia perhatikan dengan teliti gelagat Natha, sampai akhirnya dia mengerti. Nathalie sedang tidak baik-baik saja.

"Hmmm?" Natha merespon tanpa mengalihkan pandanga dari buku catatan bahasa Inggris. Ada banyak soal-soal yang belum dia kerjakan.

"Are you okay?" tanya Jeno meneliti raut wajah pucat Natha.

Pertanyaan itu membuat Natha menghentikan kegiatan menulis nya, dan menoleh pada pemuda yang memiliki eyes smile itu.

Helaan nafas panjang keluar dari mulut Natha, lalu dia menundukkan kepala. "Biasalah, Jen."

Di hadapan keluarganya mungkin Natha bisa menyembunyikan jerit hatinya, tapi di hadapan teman-temannya Natha adalah dia yang apa adanya. Tak ada yang di tutupi, sebab Natha sangat percaya orang-orang ini mampu mengerti tanpa menghakimi.

Jeno mengerti itu dan dia mengagumi itu, mengagumi apa ada nya Natha. Jeno suka saat Natha curhat menumpahkan keluh kesahnya. Dengan begitu Jeno merasa berharga dan di percaya oleh Natha, sebagai penampung segala gelisah serta lara. Jeno merasa dekat setiap Natha bercerita, sebab di saat itu Natha menanggalkan topengnya dan berhenti berpura-pura.

"Nath, Lo inget kan apa yang selalu gue bilang ke elo?" tanya Jeno seraya menatap manik mata indah Natha.

Jeno meraih tangan kanan Natha dan membawa ke dalam genggamannya. "Gue selalu disini, Natha. Lo bisa pegangan ke gue kalo Lo gak kuat berdiri sendiri, gue gak akan keberatan."

Natha mengukir senyuman tipis dan mengangguk pelan. "Thanks ya, Jen? Gue bakal selalu inget kata kata lo kok." Natha menunduk menatap tautan tangan mereka dan membalas genggaman tangan pemuda itu.

Jeno mematri senyuman yang sama. Senyuman cerah dalam garis lengkung bak bulan sabit di angkasa pada matanya. Senyuman yang mampu membuat siapapun terpesona melihatnya, termasuk Natha. Bagi Natha senyuman itu memiliki arti lain, walaupun begitu dia merasa hangat melihat nya.

****


"Anjay! Seratus, beuh.... Ngeri Lord Natha ini," puji Chika seraya merangkul pundak Natha sebagai apresiasi, karena sahabat nya itu mendapatkan nilai tertinggi dalam ulangan Bahasa Inggris.

"Proud of you, Natha Ku," tambah Audi dengan binar mata menyala-nyala menghampiri Natha tepat setelah guru mereka keluar kelas.

Sebenarnya bukan sekali dua kali, tapi berkali-kali Natha mendapatkan nilai sempurna seperti itu. Sahabat-sahabat nya seharusnya tidak heran, dan mereka tidak pernah bosan memuji Natha. Semuanya tau, kalau bukan mereka siapa lagi yang mengapresiasi? Setidaknya mereka berusaha memberikan apapun yang mereka bisa untuk sang sahabat tercinta.

"Kok bisa ya, Nath? Si Nella aja yang juara satu kalah lho?" ucap Haiden menatap Natha dengan takjub.

"Gak tau sih, Den. Gue juga bingung." Natha menatap Haiden dengan alis bertaut sambil menggaruk kepala seolah berfikir. "Tapi yang gue tau semua orang itu punya bidangnya masing-masing. Mungkin ini emang bidang gue, makanya gue jago di sini. Sedangkan Si Nella bidangnya di Matematika, Fisika, Kimia."

EPHEMERAL PRINCESS {END} ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang