EPILOG

108 7 0
                                    

Jemari pemuda itu bergerak seperti sedang melukis sesuatu pada kaca jendela yang tertutup, mengikuti tetes air hujan yang jatuh menerpa kaca itu. Mata elangnya memancarkan sorot kosong tak ada kehidupan. Sesekali dia bergumam kecil, sesekali pula dia merintih dengan lirih lalu mengelukan nama Sang kekasih.

Terkadang dia berteriak kencang sambil memukul-mukul kepalanya sendiri, meminta agar ingatannya berhenti memutarkan memori mengerikan yang merenggut nyawa seseorang dengan kejam di depan matanya.

"Natha-nya Jeno suka hujan... dan pelangi," gumam pemuda itu sambil menengadah menatap langit mendung yang menurunkan hujan deras.

Hari ini tepat sebulan setelah pemakaman Natha dan kematian misterius Keluarga Gavriel, serta kebakaran di rumah keluarga itu.

Sesaat setelah kejadian, para warga datang berbondong-bondong ke rumah keluarga Gavriel untuk membantu memadamkan api, tapi sayang, kobaran si jago merah sudah melahap hampir separuh dari rumah mewah tersebut, bahkan Sulung keluarga Gavriel pun ikut terlahap di beberapa bagian tubuhnya. Walaupun pemuda itu sudah meninggal sebelum terlalap api, namun kondisinya sangat amat memprihatinkan.

Sekujur jasad nya penuh luka menganga dan lebam dimana-mana. Tubuhnya seperti saluran pipa bocor yang mengalirkan darah disetiap sisi yang terbuka. Tulang-tulangnya pun seperti sudah rapuh bagai tengkorak yang keropos sejak lama. Tak lepas pula luka bakar akibat api yang sempat memeluk tubuhnya dari bagian pinggang kebawah. Oh, malangnya nasib Sang Tuan muda.

Keberadaan kekasihnya, Winda pun hingga kini tak tau berada dimana. Entah dia sudah meregang nyawa pula, atau hidup dengan jerat siksa dari para tenaga ahli yang menjadikan kelinci percobaan dari penemuan mereka. Sesuai ucapan Nanny Hannah sebelum gadis itu di bawa.

Satu-satunya yang selamat dari tragedi itu adalah Jeano Eridanus. Pemuda itu berhasil di selamatkan oleh warga. Meskipun dia mendapatkan beberapa luka bakar dan luka parah di kepalanya yang menyebabkan Jeno koma selama dua
minggu.

Dokter mendiagnosa bahwa Jeno terkena geger otak dan PTSD. Selain itu Jeno juga menjadi tersangka atas kebakaran di rumah Keluarga Gavriel, karena sidik jarinya di temukan pada korek api yang menjadi sumber kobaran api di rumah tersebut.

Berita bohong tersebar di seluruh kota, bahwa Putra sulung Eridanus itu stress dan gila karena kematian kekasihnya. Sehingga membuat Jeno hilang akal dan membunuh keluarga Sang kekasih.

Padahal faktanya sangat jauh berbeda. Jeno hanyalah tumbal dari keganasan elite negara yang takut rahasianya terbongkar. Keluarga Eridanus pun tak mampu menyelamatkan putra mereka. Alhasil Jeno di titipkan di rumah sakit khusus pasien gangguan jiwa.

Jika saja vonis mengenai gangguan stres pascatrauma yang Jeno alami tidak keluar. Mungkin pemuda itu sudah mendekam di penjara.

Dia di vonis terkena PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) atau gangguan stres pascatrauma. Yaitu kondisi kesehatan jiwa yang dipicu oleh peristiwa traumatis, seperti kejadian mengerikan yang terjadi di depan mata Jeno kemarin.

Hal itu lah yang membuat jiwa pemuda itu terganggu. Dia sering bertingkah laku aneh, berteriak, mengamuk, merusak barang, bahkan terkadang dia menangis seperti orang yang paling menyedihkan di dunia.

Terkadang dia juga terlihat baik-baik saja seperti sekarang. Pemuda itu tersenyum cerah menatap langit yang perlahan kembali terang karena hujan sudah berhenti. Mata Jeno berbinar melihat sebuah lengkungan indah mewarnai angkasa, dengan semburat warna-warni membentang dari garis cakrawala.

"Pelangi..." gumam Jeno dengan senyuman lebar. Dia melompat kegirangan sambil bertepuk tangan dan menunjuk nunjuk lengkungan warna itu. "Natha... pelangi! Natha, ada pelangi...."

EPHEMERAL PRINCESS {END} ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang