Hujan mengguyur Kota Damdevin sejak pagi. Entah pertanda apa, tapi rasanya alam seperti mengantarkan pesan kesedihan melalui hujan. Seumpama tangis pilu sang langit mengguyur alam semesta. Di atas sana ada mata malaikat yang berderai cairan duka, menyaksikan takdir pahit menerjang seorang hamba yang taat pada tuhannya.Seorang siswi duduk di pojok kelas yang sepi menghadap ke jendela. Semua siswa-siswi memilih keluar kelas. Menikmati jam kosong dengan berkeliaran dan jajan, tapi gadis belia itu memilih menyaksikan rintik hujan yang jatuh membasahi bumi, sambil menikmati udara dingin menyapa kulit nya.
"Lo masih suka nungguin pelangi, Nath?" tanya Jeno seraya di samping Natha.
Nathalie menoleh sekilas pada Jeno, lalu mengangguk sebagai jawaban.
"Kapan terakhir kali lo liat pelangi?" Jeno memiringkan kepalanya meneliti raut wajah datar Natha.
"Tiga bulan yang lalu," jawab Natha seraya mengukir senyuman kala mengingat momen tersebut.
Warna-warni indah yang dia damba selalu melengkung di langit pagi. Ketika itu Natha sedang di perjalanan bersama keluarga nya. Sebuah momen yang tak pernah Natha duga. Dia menemukan pelangi di ambang batas kota. Lengkungan mempesona itu terpahat indah mewarnai angkasa.
Betapa terpana nya Natha saat melihat pelangi itu, sampai-sampai lupa mengabadikannya dengan kamera. Natha seolah terhipnotis oleh keindahan Sang Pelangi.
Natha tersentak saat merasakan sentuhan tangan Jeno yang perlahan menautkan jemarinya di sela-sela jemari Natha. Gadis itu menoleh pada pemuda di sampingnya yang tengah menampilkan senyuman menawan.
"Ayo liat Pelangi sama-sama, Nath!" ajak Jeno sembari mempererat genggaman tangan mereka. "Jangan lepasin genggaman tangan gue, ya?"
Natha menunduk menatap tautan tangan mereka, kemudian mengukir senyuman indah di bibirnya membuat Jeno merasa berdebar.
Gadis itu mengangguk dan membalas genggaman tangan Jeno hangat. "Janji, ya?"
Jeno mengangguk sambil mengusapkan ibu jari nya di punggung tangan Natha. "Iya, janji."
****
Sebuah senyuman cerah tercetak di bibir merah muda sang gadis yang kini duduk di halte busway sepulang sekolah. Wajah jelita itu menengadah menatap langit mendung menjelang senja.Sederhana. Alasan senyuman itu terukir hanya karena melihat tetesan air hujan yang jatuh membasahi bumi sudah hampir mereda. Namun, tak membuat anak gadis itu beranjak sedikitpun dari sana. Umumnya orang-orang akan segera beranjak setelah hujan reda, tapi tidak dengan Natha. Dia masih setia menatap langit dengan penuh asa berharap ada lukisan indah dari bias hujan deras yang dia damba.
Saking asiknya menikmati momen pasca hujan. Natha sampai tak sadar bahwa ada seseorang yang mengisi kursi kosong disana. Orang itu duduk di sana Natha sambil memandangi wajah belia yang tengah menyunggingkan senyum itu.
"Hujannya sudah berhenti, Apalagi yang kamu tunggu?"
Natha terkejut mendengar suara berat khas pria dewasa memasuki indera pendengarannya, lantas gadis itu menoleh dan mendapati keberadaan seorang laki-laki dewasa sudah duduk disisinya.
Seorang pria dalam balutan pakaian formal. Kemeja putih di lengkapi dengan jas dan dasi yang mengikat lehernya, serta sepatu kulit hitam. Pria ini terlihat seperti pejabat, tapi wajahnya seperti tidak asing untuk Natha.
Mencoba bersikap ramah, Natha pun mengukir senyuman tipis. "Pelangi."
Pria itu pun ikut tersenyum hingga terlihat deretan giginya yang rapi. "Kamu tau kan? Pelangi tidak selalu ada setelah hujan?"
"Iya tau," sahut Natha sambil menatap pria itu penuh tanda tanya.
Oknum yang di tatap hanya duduk santai sambil menatap langit di atas mereka. "Bagaimana jika setelah ini akan ada badai lagi?"
"Maka saya akan menunggu lagi," jawab Natha dengan yakin.
"Bagaimana jika badai datang lagi?" tanya orang itu pula
"Saya tetap akan berada disini," sahut Natha dengan penuh keyakinan.
Laki-laki itu mengalihkan pandangan pada sang gadis belia. Natha terdiam ditempat ketika merasakan tatapan itu menembus hingga jantung hati nya, membuat sang gadis merasakan getaran halus yang sama sekali tidak bisa dia rasa. Jantung nya seperti berhenti memompa darah seketika kala menerima tatapan sang pria.
"Bahkan jika halilintar beresiko membunuhmu?" tanya pria lagi.
Natha mengangguk kukuh. "Iya."
Pria tersebut kembali tersenyum, kali ini kedua matanya pun ikut tersenyum menatap Natha dengan hangat. Kehangatan sorot mata itu mengalahkan atmosfer dingin yang menusuk hingga tulang.
"Apapun itu, Nak. Kamu harus tau satu hal. Pelangi adalah momen langka yang muncul sekali dari tiga ratus enam puluh lima hari dalam setahun. Jadi jika kamu memang ingin menunggu nya, maka tunggulah. Mungkin musim itu akan tiba... tapi setelah itu berjanji lah untuk pulang," kata Pria itu menatap dalam manik mata Natha.
Natha pun mengangguk setuju. "Iya. Setelah menyaksikan pelangi, saya pasti akan pulang."
Sang pria mengangguk beberapa kali kemudian dia berdiri dan berjalan ke arah selatan meninggalkan Natha tanpa berkata apapun lagi. Natha hanya menatap lekat punggung kekar pria tadibsambil memutar otaknya.
Apa dia sudah berbicara dengan orang asing? Jika iya dia sudah melanggar peraturan dari papa nya. Darren selalu melarang Natha untuk berbicara dengan orang asing, tapi pria tadi itu kelihatannya seperti orang baik.
Pahatan wajahnya menawan dengan garis rahang yang tegas. Rambut hitam kecoklatan. Berhias alis yang cukup tebal menukik tajam. Netra legam yang menyorotkan binar bening. Hidung yang runcing kebawah serta bibir merah berbentuk hati. Tubuh pria ini cukup atletis dengan pakaian yang dia kenakan membuat bentuk tubuhnya tercetak.
Natha bahkan merekam detail sosok pria itu dalam ingatan, sebab dia sempat terpana melihat betapa menawannya orang tadi.
Segenap pertanyaan muncul dalam benak Sang gadis, apakah pria tadi itu benar-benar manusia? atau malaikat yang turun di kala hujan? Tatapan mata nya begitu hangat, begitu teduh seolah menjanjikan kedamaian surgawi.
Seteduh itu? iya. Senyuman nya juga sangat menenangkan, membuat setiap hati yang menyaksikan senyuman itu menjadi hangat dan tentram.
"Ck, apaan sih? Ngaco lo, Nath." Anak itu menggelengkan kepalanya mengusir semua pikiran pikiran bodoh itu.
Dia kembali fokus pada tujuan nya menunggu pelangi terlukis di Angkasa. Dengan hati yang penuh harap dan doa, Natha kembali melemparkan pandangan ke langit yang sudah kembali cerah.
Sialnya beberapa menit dia duduk sana bukannya pelangi yang dia dapati, melainkan semburat jingga yang memenuhi ufuk barat, pertanda bahwa raja siang sudah akan kembali ke peraduan.
Natha menunduk lesu sambil menatap tautannya tangan nya di atas paha. Lagi-lagi tak dia temukan Pelangi seusai hujan. Padahal dia sudah menunggu berkali-kali bahkan dalam waktu yang lama.
Helaan nafas pasrah keluar dari bibir mungil Natha. Untuk mengobati kecewanya, Natha memutuskan untuk menyaksikan senja yang juga tak kalah indah dari Pelangi. Walaupun sama-sama sementara, dua hal itu tetap di nanti-nanti oleh banyak mata yang memuja keindahan mereka. Termasuklah Natha.
Kini gadis itu tersenyum menghadap langit menyaksikan semburat jingga menyingsing di Angkasa. Hingga tak sadar sepasang mata teduh sedamai surgawi tadi masih mengawasinya sambil tersenyum bangga.
"Pelangi mu akan segera tiba, Nak."
Merasa yang di tunggu tak kunjung tiba. Natha pun memutuskan berdiri dan beranjak dari halte tempat nya berteduh. Dia menghampiri motor nya yang terparkir di depan halte, kemudian menaiki kendaraan itu lalu pulang ke rumah.
Laju kendaraan itu membelah langit senja yang menampilkan rona merah muda. Dengan kecepatan sedang dia berkendara. Sebelum senja tenggelam dia harus tiba di rumah, karena kewajiban melaksanakan sholat Maghrib. Natha tidak akan pernah lupa pada kewajibannya sebagai hamba, semoga bahagia selalu menyertainya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL PRINCESS {END} ✓
De TodoEphemeral berlaku bagi semesta ciptaan Tuhan. Begitu juga bagi gadis berjiwa indah itu. Dia hanyalah hujan di tengah musim kemarau yang datang nya di damba, namun hadirnya kerap di anggap tak ada. Nathalie Putri Gavriel. "Jen... gue pengen jadi bint...