"Jadi Lo drop kemaren gara-gara kemakan kari kambing, Nath?" tanya Chika dengan raut tak percaya setelah mendengar cerita lengkap dari Natha.
Natha mengangguk sambil memutar-mutar pulpen di jemarinya. Sejak tadi tidak dia gunakan untuk menulis apapun. Setelah bell istirahat pertama, guru mapel tidak masuk. Jadi mereka bisa bergosip ria.
Chika menggeleng tak habis pikir. "Gak paham gue, Nath. Masa hal sekecil itu aja nyokap lo gak tau?"
"Bukan gak tau... tapi dia lupa," sanggah Natha berusaha membela Sang Mama di hadapan teman-temannya.
Balasan Natha lebih membuat Chika, dan Audi menggeleng tak habis pikir. Bisa bisanya Seorang ibu melupakan hal kecil yang menjadi pantangan bagi anaknya.
"Udahlah, cuy. Gak penting itu mah, yang penting sekarang gue baik baik aja dan bisa masuk sekolah lagi," ungkap Natha seraya tersenyum menenangkan sahabat sahabat nya.
Dua gadis lainnya hanya mengangguk tabah, mencoba memahami suasana hati Natha. Mereka tidak mau membuat mood sahabat nya itu jadi down, tapi Jeno sadar. Sejak awal Natha mulai bercerita, tersirat perasaan pilu pada raut wajah gadis itu.
Sang pemuda tidak pernah tega melihat wajah murung Natha. Ada rasa ingin menepis awan kelabu yang menyelimuti wajah cantik itu. Jeno tidak suka melihat mendung pada sepasang mata indah Natha. Jeno merasa harus bertindak cepat untuk memunculkan kembali seri pada wajah si gadis mempesona.
Secepat kilat pemuda itu melesat ke kelas sebelah untuk meminjam gitar, bermaksud menghibur Natha yang sedang bersedih.
Setelah gitar itu berada dalam dekapan. Jeno pun duduk di atas meja Natha sambil mematri senyuman lebar.
"Mau Abang nyanyiin gak, Neng?" goda Jeno seraya menarik turunkan alisnya.
Natha terkekeh geli menatap pemuda itu. "Gak ada uang receh, Bang."
"Gak pake uang, Neng. Bayar pake senyuman Eneng yang manis aja udah cukup kok buat Abang," balas Jeno pula.
"Anying siah, Jeno! Geli aing, weh!" ledek Haiden seraya melempar Jeno menggunakan gumpalan kertas di bawah meja nya, tapi sayang sekali tidak kena.
"Syut... biarin sih, Den. Namanya juga usaha," kata Chika menegur Haiden yang terlihat mual sekali mendengar ucapan Jeno.
"Diem lo pada! Gue mau nyanyi nih," kata pemuda bermata sipit itu sembari membenarkan posisi gitar di pangkuan, tapi sedetik kemudian dia mengangkat pandangan menatap teman-teman di sana.
"Kenapa? pita suara lu putus?" ledek Nando sambil tertawa melihat wajah bingung Jeno.
Jeno menggeleng sambil mengerjapkan mata. "Lo pada tau nggak lagu yang lagi viral itu? yang stasiun stasiun."
"Stasiun balapan?" celetuk Nando.
"Bukan, bege! itu mah lagu nya Didi kempot." Jeno menatap sengit pada sahabatnya itu sambil berusaha berfikir judul lagu yang akan dia nyanyikan. Kurang aneh apa coba? Tau lirik dan tau chord nya, tapi tidak tau judulnya. Memang manusia ini sableng tiada lawannya.
"Terus yang mana dong?" Haiden jadi ikut bingung juga di buatnya.
Jeno mencoba mengingat ingat judul lagu yang terputar di kepala, tapi yang dia ingat malah nama penyanyinya. "Ih itu lho, lagu nya Charlie Van Houten."
"Oh... Stasiun cinta!" seru Audi.
"Nah, etta!" Jeno menjentikan jemarinya ke arah Audi, lantas mulai memetik senar gitar mengalunkan melodi lagu stasiun kereta.
Natha tertawa gemas melihat tingkah Jeno. "Nyanyi mah tinggal nyanyi aja, Jen. Kudu banget ngasih tau judul."
"Takut Lo gak tau lagunya, makanya gue kasih judulnya dulu," papar Jeno sembari tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang putih bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL PRINCESS {END} ✓
De TodoEphemeral berlaku bagi semesta ciptaan Tuhan. Begitu juga bagi gadis berjiwa indah itu. Dia hanyalah hujan di tengah musim kemarau yang datang nya di damba, namun hadirnya kerap di anggap tak ada. Nathalie Putri Gavriel. "Jen... gue pengen jadi bint...