"Besok Natha ada lomba Singing and Dancing di Mall Glicson," ucap gadis berambut tomboy itu dalam satu nafas berkata.Entah keberanian darimana dia bisa menyampaikan hal tersebut kepada keluarganya, terlebih Sang Papa. Padahal dia selalu tau respon nya bagaimana.
"Papa gak bisa dateng," balas Darren tanpa pikir panjang, bahkan tanpa menoleh pada anaknya.
Natha menghela nafas pendek. Menelan segala kepahitan dalam kerongkongan naluri. "Natha gak minta papa dateng kok, cuma ngasih tau aja jadwal Natha besok."
"Gaya banget pake jadwal segala!" cibir Rafa sembari tertawa.
"Syut! gak ngomong ama situ." Natha mendelik sinis pada abangnya.
"Inget inget kesehatan, Natha. Jangan macem macem," tegur Sang mama melirik anak bungsunya itu sekilas
"Natha bakalan baik baik aja. Natha gak bakal skip obat," jawab anak itu dengan yakin.
"Inget perjanjian kita? Kalo kegiatan gak berguna itu sampai buat kamu drop, Papa bakalan ngelarang kamu lebih keras buat ikut kegiatan itu." Darren menatap Natha tegas penuh peringatan.
"Oke." Natha mengangguk dengan yakin. Sejak awal dia selalu menyanggupi kesepakatan itu.
"Rafa gimana proker kamu?" tanya Darren beralih pada anak sulungnya
"Udah di rancang, Pah. Tinggal prakteknya aja," jawab Rafa sambil mengunyah makanannya.
"Bagus... harus sukses pokoknya," tambah Darren.
"Past. Pah. Persentase suksesnya besar, apalagi di tempat praktek Rafa nanti," ucap si sulung pula.
Jika Rafa sudah berkata seperti itu, maka Darren yakin anak sulungnya itu pasti berhasil. Mengingat momen momen yang telah lalu. Rafa jarang sekali gagal dalam hal akademik, berbeda dengan Putri nya yang kerap tak beruntung di bidang akademik.
"Papa percaya, kamu ga akan ngecewain papa." Darren mengacungkan jemarinya pada Rafa dan dibalas dengan acungan jempol oleh sang anak.
Dalam topik penuh kebanggaan itu. Ada seorang anak yang tertunduk layu. Beginilah yang akan mereka bicarakan setiap kali sang kepala keluarga ada di rumah. Tidak ada seorangpun yang menyudutkan nya, tapi konteks dari pembicaraan mereka membuat Natha merasa tidak percaya diri. Anak itu merasa paling bodoh di sana, prestasi yang selama ini dia dapat tak ada harganya bagi keluarga. Mereka hanya menghargai prestasi akademik.
Tak pernah ada kata penyemangat yang terlontar dari mulutnya kedua orang tuanya, apalagi pujian bangga . Padahal itu selalu di harapkan oleh Natha, namun apalah daya. Dirinya bukan apa apa di mata mereka, apa yang dia lakukan tidak ada nilainya di mata mereka.
Beruntung Natha adalah seorang yang menjunjung tinggi etika dan moral, karena itu dia masih tetap di sana. Natha tidak akan meninggalkan meja makan sebelum orang tuanya beranjak dari sana.
"Gimana Winda?" tanya Mama kepada Rafa.
Winda, kekasih Rafa memang sudah akrab dengan Keluarga besar mereka. Meskipun belum genap setahun berpacaran, namun kedua orang tua Rafa dan Natha sangat menyayangi gadis itu.
Winda adalah yatim piatu yang hidup sebatang kara di kota ini, dia merantau sendirian. Terlepas dari semua itu, Natha tau bahwa Winda lah yang membangkitkan Abang nya dari keterpurukan, saat Rafa di selingkuhi oleh mantan pacar nya yang dulu. Natha cukup berterimakasih pada Winda, sebab kehadiran Winda bisa membuat Rafa kembali ceria.
"Baik, Mah... tapi dia lagi sedih gara gara kemaren dia di marahin sama atasannya yang rese itu!" adu Rafa.
"Kasian banget. Padahal Mama udah berapa kali bilang buat resign aja dari sana, tapi dia gak mau," kata Reva dengan raut prihatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL PRINCESS {END} ✓
AcakEphemeral berlaku bagi semesta ciptaan Tuhan. Begitu juga bagi gadis berjiwa indah itu. Dia hanyalah hujan di tengah musim kemarau yang datang nya di damba, namun hadirnya kerap di anggap tak ada. Nathalie Putri Gavriel. "Jen... gue pengen jadi bint...