Natha terbangun karena mendengar suara dering handphone nya yang berbunyi berkali-kali, sepertinya ada spam chat dan call yang masuk ke ponsel itu, tapi dia memutuskan mengabaikan benda tersebut dan langsung mematikan nya.
Gadis itu kembali merebahkan diri dengan nyaman di atas tempat tidur, namun sedetik kemudian dia membuka matanya dan terbelalak kaget. Natha mengedarkan pandangan ke sekitar, dia terkejut mendapati dirinya berada di atas tempat tidur tanpa siapapun di sana.
Seingat dia terakhir kali Natha menyadari bahwa dirinya pingsan di lantai kamar yang dingin, tapi kenapa sekarang dia berada di atas ranjang?
Seketika bulu kuduk Natha meremang. Sekuat mungkin gadis itu menepis segala rasa takut yang datang dengan mendudukkan diri hati-hati. Otaknya berputar memikirkan sejuta konspirasi dari segala keping puzzle yang telah dia susun rapi.
Natha pikir ini adalah kesempatan untuk berbicara dengan Sang ayah, karena Natha yakin semua ini adalah tindakan Ayah nya, Yohan.
"A-ayah...." Dengan suara pelan Natha memanggil ayah nya sambil menatap foto Yohan yang tergantung di dinding kamar dengan sorot nanar.
"Benar, Nak. Dia Ayah mu." Seorang wanita tua tiba-tiba memasuki kamar tersebut. Kehadirannya tentu saja mengejutkan Natha.
"Nanny?" Sepasang mata Natha melebar melihat kehadiran Nanny Hannah menghampiri dirinya.
Wanita tua itu tersenyum lembut pada Natha, seraya meletakkan nampan berisi secangkir teh hangat ke atas meja, kemudian duduk di sisi Sang gadis.
"Bagaimana keadaan mu, Nayanika Arendaratu?" tanya Nanny Hannah menatap Natha hangat.
Natha cukup terkejut. Pasalnya, ini adalah pertama kalinya dia di panggil dengan nama lahir nya, tapi gadis itu mencoba untuk bersikap normal. "Saya sudah lebih baik."
"Apa kamu merindukan kedua orang tua mu, Naya?" tanyanya sembari meluruskan pandangan ke arah foto pernikahan Yohan dan Nara, namun sedetik kemudian dia beralih pada sang gadis belia.
Natha menatap manik mata Hannah yang memancarkan binar kasih sayang dan simpati, lantas dia mengangguk kecil sambil meluruskan pandangan pada bingkai foto kedua orang tuanya.
"Apa mereka tidak merindukan saya, Nanny?" tanya Natha sendu.
Nanny Hannah tersenyum tipis menatap teduh pada wajah jelita gadis itu. "Mereka pasti merindukan mu, Nak."
"Kenapa mereka tidak menjemput saya?" tanya sang gadis pula. Tersirat nada pilu pada pertanyaan nya itu
Nanny Hannah mengulurkan tangannya merangkul pundak Natha sambil mengusap-usap pundak itu dengan lembut. "Apa hidup mu seberat itu, sayang? Sampai-sampai kamu ingin bergabung dengan orang tua mu?"
Natha menurunkan pandangan nya sambil mengulum bibir, menahan diri agar tidak menangis lagi. "Apa yang bisa meringankan hidup saya? Setelah tau bahwa kedua orang tua kandung saya mati di habisi oleh keserakahan manusia di negri ini," ucap gadis itu dengan lirih.
Hannah menarik nafas panjang sambil terus mengelus pundak Natha. "Bertahan lah, Nak. Kamu satu-satunya keturunan dari Yohan dan Nara, kamu harapkan mereka untuk melanjutkan nama dan garis generasi yang berharga."
"Darah ini tidak ada harga nya lagi di tubuh saya, Nanny. Semuanya rusak, tubuh saya, mental saya. Semuanya hancur." Natha tak sanggup menahan getar pada suara nya. Hancur lebur rasa hati, porak-poranda jiwa nya di terpa badai berkali-kali, hingga rasanya tak mampu lagi berdiri di atas bumi.
Anak itu lagi-lagi menjatuhkan air mata, dia benar-benar tak mampu menahan perih yang merasuki jiwa. Menerima fakta menyakitkan seperti hujaman pedang yang mengoyak hati dan pikiran. Natha tak mampu berfikir secara terang. Seluruh jagad raya seperti gelap gulita di mata Natha. Tak ada lagi cahaya yang dia temukan, tak ada lagi harapan untuknya bertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPHEMERAL PRINCESS {END} ✓
De TodoEphemeral berlaku bagi semesta ciptaan Tuhan. Begitu juga bagi gadis berjiwa indah itu. Dia hanyalah hujan di tengah musim kemarau yang datang nya di damba, namun hadirnya kerap di anggap tak ada. Nathalie Putri Gavriel. "Jen... gue pengen jadi bint...