Chapter 22

1.1K 136 50
                                    

Taehyung

Sepanjang aku mengenal Jungkook, aku tidak pernah melihat Jungkook secerah ini. Senyum tidak pernah meninggalkan bibirnya.

Dari bangun tidur, hingga kembali tidur lagi, yang bisa kulihat hanyalah kebahagiaan yang terpancar darinya. Aku yakin, jika aku dan dia berada di ruangan gelap gulita bersama-sama, aku bisa menemukan dia dengan cepat, sebab senyum dan sorot matanya lebih berbinar dari cahaya matahari. Dan penyebab semua ini tentu saja hanya satu; pertemuannya kembali dengan anak-anaknya.

“Kyra memintaku untuk menegur Yoongi agar dia tidak terlalu mendoktrin Hope dan Hero dengan hal yang tidak wajar,” kata Jungkook sambil melumuri krim pencukur ke seluruh rahangnya.

Dia sedang berdiri di depan cermin wastafel, sedang membersihkan dirinya, selagi aku duduk di tepi kasurnya. Menunggu giliranku datang. Dan kami sedang terlibat dalam sebuah percakapan—lebih mirip ke sesi konseling, di mana aku sebagai terapisnya, dan dia sebagai pasiennya, yang memiliki masalah ‘bagaimana caranya menjadi ayah yang baik’. Dan kami sudah melakukan sesi ini setiap pagi, selama seminggu ini, sejak dia pertama kali bertemu si kembar. Hingga Jumat pagi ini.

Jungkook jadi lebih cerewet dari seorang tukang pembawa gosip. Dia banyak bicara, tentang Kyra dan anak-anaknya tentunya. Bukan hal yang buruk, bahkan kelewat bagus, sebab dengan begitu, pagi hariku jadi lebih cerah, lebih berarti dan aku ikut senang mendengar dia tak henti menceritakan betapa lucu dan menggemaskannya anak-anaknya.

“Lebih spesifik,” kataku. “Memangnya racun macam apa yang Yoongi tebarkan pada si kembar?”

Jungkook meraih pisau cukur dari pouch santasinya. Ia mengetuk-ngetukan gagang pisau cukur ke pinggir wastafel sebelum akhirnya membasahinya dengan air keran yang mengalir, dan selagi dia melakukan itu semua, dia berkata, “Seperti berkata kasar di depan si kembar, secara sengaja, maupun tidak.” Dia melirik cepat ke arahku lewat cermin sembari menjalankan pisau cukur di rahangnya. “Lalu dia juga ingin Hero, dalam dua tahun ke depan, harus sudah memulai pelatihan bela dirinya.”

Aku menaikan kedua alisku. “Jadi, dia mau membuat Hero seperti kita?”

“Tepat sekali.”

Keluarga anggota Bangtan, sejak dulu sudah menjalin hubungan yang cukup erat, bahkan nenek moyang mereka saling berteman. Mendirikan usaha bersama, bahu membahu menciptakan bisnis yang tak seorang pun bisa menandingi kesuksesannya. Menjadikan Bangtan keluarga mafia yang tak terkalahkan. Lawan pun akan segan mendengar nama Bangtan, takut pada kemampuan para anggotanya. Dan untuk mencapai itu semua, seluruh keluarga anggota Bangtan; Jeon, Kim, Min, Jung, dan Park, memiliki beberapa aturan, salah satunya harus menempa anak lelaki yang terlahir di dalam keluarga mereka sejak usia dini agar kelak menjadi seseorang yang tidak terkalahkan. Pelatihan yang cukup brutal dan melelahkan, jika aku harus menggambarkannya dalam kata-kata. Bahkan Seokjin dan Namjoon tidak luput dari pelatihan itu.

Dan sebagai orang luar, seorang anak angkat, aku pun harus ikut melakukannya. Itulah mengapa, kami semua, terlebih lagi, Jungkook, Yoongi dan aku, cukup ahli dalam menggunakan senjata dan berkelahi—hingga tak segan menghilangkan nyawa orang. Karena kami terlatih untuk itu.

“Dan kau tidak setuju dengan itu?” tanyaku.

“Tentu saja tidak. Aku ingin anakku hidup normal tanpa kekerasan.” Saat Jungkook mengatakan ini, dia sudah selesai mencukur seluruh bulu yang ada di rahangnya. Krim cukurnya pun sudah lenyap dari wajahnya. Menyisakan Jungkook yang tampak lebih muda dan segar. “Dia tidak boleh menjadi seperti kita. Aku ingin dia melakukan hal yang jauh dari bahaya. Tidak ada senjata, tidak ada darah, tidak ada hidup yang keras. Aku lebih senang jika anakku jadi pecundang, dan tak bisa jauh dari ketiak ibunya. Itu lebih aman.” Jungkook lalu membasuh wajahnya dengan air keran.

VENGEANCE : After (S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang