Kyra.
Terik matahari di Rio saat pertengahan bulan Juli sangatlah tidak bisa ditoleransi. Panasnya membakar kulitku. Tiga kali lipat lebih membakar daripada musim panas di Westwood. Mungkin karena Rochina sangat dekat dengan laut, sehingga udaranya terasa lebih panas.
Sekarang kulitku lebih gelap daripada ketika aku tinggal di sana. Padahal aku selalu keluar mengenakan baju lengan panjang.
Bulu mataku mengepak cepat untuk menghalau sinar matahari yang langsung menusuk mataku. Ini sudah jam tiga sore, tetapi matahari sepertinya masih semangat menembakan sinar teriknya ke dataran ini.
Setiap kakiku melangkah, setiap itu juga tubuhku ikut meleleh, seolah melebur dengan aspal. Belum lagi asap kendaraan dan keramaian jalanan yang semakin membuat kepalaku semakin pusing saja.
Sambil berjalan aku menguntal rambutku, mengikatnya tinggi dan longgar. Berharap ada angin yang meniup kulit leherku yang basah karena keringat. Oh, aku sungguh butuh mandi di bak berisi es dan berada di ruangan ber-AC.
“Ola, Kyra!” wanita yang biasanya menjaga toko mebel di sebelah tempatku bekerja menyapaku ketika dia berpapasan denganku.
Aku membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk. Aku menoleh ke belakang dan menemukan dua orang anak buah Helena berjalan mengikuti beberapa meter dariku.
Sejak kejadian percobaan penculikanku dulu oleh musuh Tuan Kim, Helena selalu mengirim anak buahnya untuk mengawasi setiap aku melangkahkan kaki keluar rumah. Bahkan Helena memerintahkan beberapa anak buahnya untuk berjaga di depan rumah Nana Sunha. Well, selama mereka tidak terlalu dekat denganku, aku tidak masalah.
Tak lama kemudian aku sampai di toko kelontong tempatku bekerja. Kudorong pintu kaca, dan angin sejuk segera membelai kulitku yang lengket. Tidak dingin, hanya sekadar berangin sedikit, tetapi cukup menghilangkan rasa gerahku.
Kulihat paman Juan yang duduk di belakang meja kasir sedang sibuk dengan ponsel barunya. Dia bahkan tidak menyadari kedatanganku.
Paman Juan merupakan tetangga Nana Sunha. Dia adalah pria berumur lima puluhan. Bertubuh pendek dan gemuk. Rambutnya ikal dan memiliki kumis tebal. Selalu mengenakan kemeja safari yang sudah kumal dan celana pendek khaki. Terkadang dia baik, terkadang juga suka membuatku kesal. Dan suasana hatinya ditentukan oleh ramai sepinya pembeli di toko tiap harinya.
Aku maju ke konter yang tingginya seperutku, menekan tubuhku ke tepinya, lalu ku ketuk-ketukan jariku di konter, barulah paman Juan mengangkat matanya untuk menatapku. Hanya menatapku dari balik kaca mata bulatnya, tidak mengatakan apa-apa. Yah, lagi pula memang tidak banyak yang bisa kami bicarakan karena kendala bahasa. Jika ada yang diperlukan biasanya aku dan dia berkomunikasi lewat aplikasi translator yang ada di ponselnya.
Aku berjalan memutar, dan masuk ke belakang konter meja kasir. Berdiri di sebelah paman Juan duduk.
Kuselipkan tasku di dalam etalase, menukarnya dengan buku kas tebal dan mulai mencicil laporan. Ini memang hari terakhirku bekerja, tetapi aku harus tetap memenuhi tanggung jawabku. Meskipun isi kepalaku sekarang dipenuhi oleh rencana yang akan kulakukan dan dipenuhi oleh bayangan ketika kedua anakku bertemu ayahnya ketika kami pulang nanti.
Suara dari televisi kecil yang ditaruh di sudut atas meja kasir menjadi pengiringku ketika aku sibuk mengerjakan laporan. Sesekali paman Juan tertawa terbahak-bahak karena kelucuan video yang dia tonton di ponselnya.
Ada satu orang pembeli yang datang, seorang wanita setengah baya yang menjadi pelanggan di toko ini. Dia membeli deterjen, minyak goreng dan beberapa bungkus mie instan. Sementara aku men-scan barang belanjaannya, dia berberbicara dengan paman Juan. Entah apa yang dia bicarakan, tetapi dia terus melirik ke arahku sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
VENGEANCE : After (S2)
FanfictionBook II (Sebelum baca ini, baca dulu Vengeance S1) Tiga tahun setelah kejadian 'malam itu' baik Kyra, Jungkook maupun Taehyung, mereka sama-sama masih belum bisa terlepas oleh jerat 'rasa bersalah'. Mereka masih mencari cara untuk menembus kesalaha...