Chapter 11

1.2K 165 43
                                    

Kyra.

“Mommy! Mommy! Mommy ayo bangun! Kembang api. Hope mau main.”

Aku merasakan ada beban yang menindih tubuhku. Napas hangat Hope terasa daguku. Dari yang kurasakan. Dia seperti berada di atas tubuhku dengan posisi duduk, tetapi tubuhnya bersandar ke dadaku, sehingga wajahnya terasa di daguku.

“Ah, Hope…” Suaraku serak. Mataku masih terasa berat untuk dibuka. Jam berapa ini?

“Mommy ih, ayo bangun,” dia merengek sambil mengguncang tubuhku. “Aku gak ada teman main.”

Aku memaksa mataku untuk terbuka, dan mendapati wajah Hope tepat di bawah wajahku. Ada sedikit kerak bekas liurnya di sudut bibirnya. Dia sedang menatapku dengan wajah memelas penuh harap. Rambutnya masih acak-acakan.

Kamarku masih gelap.  Aku lalu melirik jam alarm di nakas. 04.55.

Astaga, ini masih dini hari.

Padahal semalam Hope tidur diatas jam sepuluh dan baru saja sembuh dari demamnya, tetapi kenapa jam segini dia sudah terbangun?

“Hope ini masih gelap.” Aku mengeluarkan tanganku dari selimut untuk memeluk tubuh mungilnya.

“Iya, maka dari itu kita harus menyalakan kembang api sekarang, Mommy,” tuntutnya. “Kalau pagi nanti kembang apinya tidak kelihatan. Kata Paman Jimin, harus gelap-gelap mainnya supaya kelihatan.”

Ugh, aku menyalahkan Jimin karena sudah membuat Hope menjadi terobsesi pada kembang api. Sejak Jimin memberikannya kembang api dua hari yang lalu, sejak itu juga Hope selalu bermain kembang api. Setiap malam, setiap jam. Jun sampai kewalahan untuk mencari kembang api di luar, karena kalau kembang apinya habis sebelum Hope bosan, dia akan menangis seperti orang kerasukan.

Aku tentu sudah mencoba melarangnya, menasihati Hope untuk tidak bertingkah seperti itu. Namun ketiga pamannya—Yoongi, Jun, dan Jimin—serta Eunha, selalu membela Hope dan memanjakannya. Hope pun semakin menjadi-jadi. Sekarang, setiap kali aku menegur Hope, dia selalu lari dan berlindung di balik paman-paman dan tantenya.

Aku bersyukur karena si kembar sekarang memiliki banyak anggota keluarga. Namun sisi buruknya, kini jadi semakin banyak yang memanjakan mereka. Dan hal itu berdampak buruk pada kedua anakku, terutama Hope.

“Ayoooooo… Mommy…,” rengek Hope.

Aku sendiri sebenarnya tidak bisa bilang 'tidak' padanya. “Oke. Tapi Hope harus cium Mommy dulu. Yang banyak.”

Hope tersenyum lebar sambil terkekeh. “Okay.” Dia lalu menghujaniku dengan banyak kecupan. Dia menempelkan bibirnya yang dimajukan dan basah ke hampir seluruh wajahku.

Ketika aku membalas menciumnya, dia tertawa geli. “Sini cium lehernya … Hmm, bau kecut.”

Hope tertawa lagi karena geli. Dan karena keberisikan kami, Hero yang masih tertidur pulas jadi terganggu. Dia sempat membuka matanya dan merengek. Aku menurunkan Hope dari tubuhku dan bangun untuk mengelus kepalanya, meninabobokannya lagi.

Hero kembali tertidur.

“Jangan berisik, ya? Kakak nanti bangun,” kataku.

Hope mengangguk sambil menekan bibirnya dengan telunjuknya.

“Ayo turun. Kita cuci muka dan sikat gigi dulu.”

Aku menyibak selimut dan turun dari kasur, barulah Hope ikut turun.

Lima belas menit kemudian aku dan Hope sudah selesai membersihkan diri. Meski masih memakai piyama, rambut Hope sudah tertata rapi. Aku menguncir kuda rambut Hope. Jadi setiap dia berjalan, rambutnya mengayun ke kanan dan ke kiri. Itu sangat lucu.

VENGEANCE : After (S2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang