Faya tertunduk dengan banyaknya sticky notes yang berserakan, pikirannya kacau-balau, jika sebelumnya ia masih tersenyum dengan ponsel digenggaman, seketika berubah saat ibu kos memanggilnya untuk menerima sebuah kotak yang telah Nara tinggalkan.
Panggilan suara Faya untuk Dean berharap dirinya datang saat ini juga.
Dean hadir dengan cepat, bagaimana tidak, hanya ada tangis yang didengarnya saat panggilan suara diterimanya.
Melihat sahabatnya tertunduk dengan sticky notes yang berserakan, satu persatu Dean baca, terdapat kalimat singkat dengan tanggal yang tersemat di ujung sticky notes.
“Lo ada di café?” tanya Dean kepada seorang di ujung panggilan. “Gue anter Faya ke sana,” tutupnya. Pria itu bangkit menggambil denim yang tergantung di balik pintu.
“Ke café Leo, ya? Nanti gue jemput Nara dulu, jam segini event-nya udah selesai, lo jangan nangis.” Dean meminta dengan suaranya yang begitu lembut seakan-akan tidak ingin intonasi suaranya menyakiti pendengaran Faya.
Sesampainya di cafe, Dean meminta Leo untuk tidak bertanya apapun kepada Faya. Entah mengapa bagi Dean ini begitu menyakitkan, Nara dengan keahlian menyembunyikan dan Faya dengan ketidaktahuannya membuat keduanya terjerat dalam kesalapahaman.
Dean melajukan motornya untuk menjemput Nara, pria ini ingin mempertemukan sepasang sepupu yang sudah lama tidak saling menyapa.
“Kenapa, Kak?” tanya Nara yang baru saja berlari setelah mendapatkan panggilan suara dari Dean.
“Ra,” panggil Dean dengan napas yang tertahan, “Ayo ketemu Faya.”
Bola mata Nara membulat saat mendengar ajakan Dean yang tiba-tiba. “Sekarang banget?”
“Faya butuh lo.”
Nara menyetujui ajakan itu, langkahnya cepat untuk menggambil barang-barang miliknya di dalam sana.
Langit sore menemani laju motor dengan angin yang menerpa. Di jok bagian belakang Nara terdiam dengan pertanyaan yang berlalu-lalang di kepalanya.
Kak Faya kenapa? Sakit? Atau apa?
Sesampainya di café, keduanya dengan langkah kaki yang senada berjalan menuju tempat di mana Faya duduk menyendiri. Nara mencoba memberanikan diri untuk bertemu Faya, menyelesaikan masalah, mencari sabarnya dan juga dirinya yang ingin belajar lebih dari arti kata maaf dan memaafkan.
Keduanya kini saling duduk berhadapan. Faya memulai percakapan, air matanya ia simpan terlebih dahulu.
“Gue minta maaf untuk semua ucapan gue, semua kata yang nyudutin lo, gue hanya liat Jasmine yang nangis dan malah nyalahin lo, kesalahan gue fatal, nggak liat dari sudut pandang lo yang lagi ada masalah.” Faya mengambil napas panjangnya. “Dicuekin lo rasanya sakit banget, Ra. Gue kehilangan sahabat sekaligus saudara, maafin gue.” ucap Faya dengan penuh penyesalan.
Nara yang mendengar penuturan dari sepupunya merasakan betapa merasa bersalahnya seorang Faya. “Gue boleh maki lo dulu nggak, Kak?”
Faya tidak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya yang sudah tertunduk terlebih dahulu.
“Sebelum lo liat Jasmine yang nangis, apa lo pernah mikir Nara bakal nangis juga nggak, ya? Lo jahat kalau bilang gue iri, lo jahat kalau lo bilang gue egois, gue ngasih semuanya buat Jasmine, gue ikhlas ngenalin Jasmine ke kalian, gue ikhlasin semuanya.” Nara mengapus air matanya yang jatuh. Gue bahkan ngikhlasin pria yang gue suka buat dia, lanjutnya dalam hati.
“Maafin gue.” Air mata itu tumpah melewati pipi Faya.
“Kak, maafin gue yang kayak anak kecil ini, gue benci kenyataan kalau lo nggak dipihak gue.” Nara tertunduk dengan air mata yang menetes tanpa permisi. “Gue nggak tahu ngadepinnya gimana, maka dari itu gue hanya diam dan menjauh perlahan.”
Hening membuat keduanya tenggelam akan rasa bersalah yang menghampiri. Faya yang berlebihan dalam menghakimi dan Nara yang mem-validasi semua rasa sakitnya seorang diri.
“Ternyata kesalahan gue bukan hanya satu, ya, Ra?” tanya Faya serius, “Gue bantu orang lain buat deket sama crush sepupu gue sendiri? Iya kan, Ra?”
Nara yang mendengar kalimat Faya hanya mampu menahan sesak didadanya, menganggukan kepala untuk pertanyaan yang diterimanya. Tangis Faya semakin pecah, penyesalannya tercipta bekali-kali lipat, jahatnya terekam kembali, bagaimana dia membantu Jasmine untuk satu mobil dengan Arjuna dihadapan sepupunya, membatu Jasmine sebagai model dengan Nara yang menjadi MUA-nya, dadanya sesak, penyesalannya menyeruak. Bagaimana tidak dirinya yang terbilang dekat bisa tidak memahami hati sepupunya tersebut.
Kesal, kecewa, penyesalan, dan rasa bersalah menjadi satu. “LO ANGGAP GUE APA, NARA?!” tanya Faya.
Isakan tangis Faya begitu pedih didengar, Dean hanya mampu memandang keduanya, dirinya juga cukup kaget karena Nara mampu dengan baik menyembunyikan perasaaannya.
“Dada gue sesek, sesek banget, Ra. Demi sakit banget, di sini! Semuanya jadi satu, kesalnya gue karena lo nggak cerita apapun, dan penyesalan gue karena nggak peka terhadap perasaan yang disembunyiin sepupu gue sendiri.” Faya menyentuh dadanya, menyengkram pakaianya hinga berantakan.
Berjalan mendekati Nara yang sedang menangis, Faya meminta Nara untuk menatap dirinya yang berada dihadapan Nara. “Ayo marah, pukul gue sekarang, lo boleh marah sama sepupu lo yang tolol ini, lo boleh ngamuk sama sepupu lo yang jahat ini.”
“Gue capek, Kak,” ucap Nara dengan suara yang pelan.
“Gue nggak bisa napas, astaga sesek banget, Tuhan.” Faya mengusap wajahnya kasar, mengatur napas serta suara tangisnya yang memanggil Leo mendekat.
“Fay,” panggil Leo. Pria itu membawa Faya kepelukannya, mendekap sang kekasih yang maniknya sudah penuh dengan air mata, berusaha menenangkan Faya dengan mengusap punggung wanita itu.
“Gue jahat sama Nara, Le.” Faya menangis meraung-raung dipelukan Leo. Sedangkan Nara sudah ditenangkan dalam dekapan Dean.
Masing-masing dalam kalutnya, masing-masing dengan tangisnya.
“Ra, serius? udah lama?” bisik Dean tepat diatas kepala Nara.“Iya, maaf,” ucapnya lirih.
“Nggak perlu minta maaf untuk sebuah rasa,” kata Dean dengan Jemari yang mengusap helaian rambut Nara.
“Lo hebat nyembunyiin ini semua sendirian. Maafin gue yang nggak peka, maafin gue yang nggak ada disisi lo saat lo lagi kacau,” ucap Dean kembali.
Dean dan Leo membiarkan kedua wanita ini larut dalam tangisnya.
Akhirnya ada orang lain di sisi Nara, setidaknya ada beberapa kata penyemangat untuk dirinya, setidaknya ia tidak perlu menyembunyikan tangisnya hari ini, setidaknya ia bisa berbagi rasa sakitnya dengan orang lain.
Tangis Faya mereda, dirinya mulai melepaskan rengkuhan Leo dan berjalan menghampiri Nara yang masih dalam pelukan Dean, mensejajarkan tubuhnya dengan Nara. “Gue bantu.” Tangan Faya menggambil alih wajah Nara. “Mau move on atau ambil Juna dari sisi Jasmine?”
Yang ditanya hanya terpaku dengan air mata yang masih mengalir. “Move on, gue udah ngelepas dia, gue udah relain mereka, bantu gue ngejauhin mereka, Kak.” Nara berucap dengan yakinnya.
“Gue bakal di sisi lo seterusnya," ucap Faya dengan bibir yang bergetar menahan tangisnya.
“Ra, lo udah capek lewatin ini semua sendiri, biar gue sama Faya nemenin lo sampai bahagia,” timpal Dean yang hadir di antara mereka.
Memang benar mengikhlaskan bukan sesuatu yang mudah, rasa yang sudah tertanam lama hanya menuai air mata, pasrahnya diserahkan, mengharapkan waktu menjawabnya dengan sesegera mungkin, agar sakitnya tidak terlarut.
KAMU SEDANG MEMBACA
feel so fine [END]
Romance"Rasa kagum selama dua tahun akan berhenti di sini, gue cukup sadar diri untuk tidak mencinta lagi." Satu alasan yang membuat seorang Naraya Adisthi memutuskan untuk mengakhiri cinta sepihaknya, kini pria yang ia sukai selama dua tahun lamanya sudah...