47. Tidak Seutuhnya Sembuh

13.5K 581 11
                                    

Tiga tahun kemudian.

“Muka lo kenapa?” tanya Ina saat melihat Nara berjalan dengan lunglai di dalam butiknya.

Hari-hari lalunya terlewati dengan sibuk bahkan terlampau sibuk.

“Biasa.”

“Utuk-utuk… nggak apa-apa ya manis. Besok coba lagi.”

Hembusan napas Nara lakukan untuk melepaskan sedikit beban yang ia pikul. “Jangan kecewa dulu.” Nada suara Nara terdengar pelan.

Tanpa sadar rengkuhan diberikan Ina untuk sekedar menenangkan wanita yang sudah ia anggap adik ini.

Design gaun yang lo buat itu nggak lepas, ide lo tertahan. Coba keluarin semuanya, bukan yang di kepala aja tapi yang di hati juga. Jangan banyak takut, perjalanan lo masih panjang ini baru tahun ketiga kok.”

“Ya lo bayangin aja, Kak. Tiga tahun nge-design, gaun gue nggak pernah dipilih, iya si tahu saingannya design punya lo.” Nara merengek dalam dekapan Ina.

Next kerjain design-nya harus lebih lepas lagi, nih yang di pikiran dibuang dulu.” Tunjuk Ina tepat ke kepala Nara. “Cintai prosesnya, Nar,” tutupnya.

Butik Ina memang menyediakan dua design untuk gaun pernikahan, saat customer mengungkapkan konsep dan apa yang diinginkan, Ina dan Nara men-design dengan ide yang berbeda, lalu membiarkan calon pengantin tersebut memilih gaun idamannya.

Ina melepaskan rengkuhannya dan mengajak Nara berjalan ke luar butik.
“Kak, gue boleh balik dulu?”

“Balik-balik,” cetus Gama yang baru saja memberhentikan mobilnya di hadapan mereka.

“Dih sok kenal,” sela Nara.

“Gam, kamu nggak boleh gitu ah,” ucap Ina.

Pria yang menjalin hubungan jarak jauh dengan Ina kini hadir di antara mereka. “Kangen Bandung, ya, Nar?” Senyum meledek itu terlihat jelas. “Apa kangen Jakarta?”

Pertanyaan Gama sedikit membuat Nara geram. “Selamat setahun kalian, dah sana pergi.” Nara membawa Ina menuju kursi samping pengemudi.
Sepasang kekasih itu tertawa gemas.

"Dadah...." Nara melambaikan tangan saat mobil yang ditumpangi sepasang kekasih itu perlahan menjauh.
Nara kembali dengan aktifitasnya, sampai-sampai waktu sudah menunjukan pukul lima sore, waktunya untuk pulang.

Menunggu staff lainnya berpamintan kini Nara seorang diri di ruang kerjanya dengan banyak design di hadapannya, memikirkan apa yang salah dengan semua design gaun pengantin yang sudah di tolak ini.

Hembusan napas terdengar berat, ia rapihkan semua barang-barangnya untuk bersiap pulang. Pintu itu sudah terkunci dan berharap lelahnya hari ini juga ikut tertutup.

Saat berbalik, Nara lihat seorang pria dengan senyum manis juga pipi yang tirus menatapnya intens, rentangan tangan menyambut Nara dengan hangatnya.

Satu rengkuhan Nara terima. “Damar, kangen,” ungkap Nara.

Usapan kepala yang selalu Damar berikan membuat Nara nyaman. Damar Abi Dzakir, pria tinggi ini sudah mengisi hati Nara selama enam bulan belakangan. Pria manis dengan semua perlakuannya mampu membuat Nara menaruh atensinya.

“Mau makan apa?” tanya Damar lembut.

“Yang manis.”

“Aku?”

Nara tersenyum malu, ia akui Damar memang manis dengan senyumnya juga alis mata yang lebat. Tanpa basa-basi pria itu menggandeng Nara menuju mobil miliknya dan berjalan ke sebuah café yang berada tidak jauh dari apartmen milik Nara.

“Gimana hari ini?” Damar pandang Nara dengan seksama. “Kayaknya nggak baik-baik aja,” tambahnya.

Pernyataan itu disetujui Nara, hari ini memang cukup mengambil pikirannya. “Design aku gagal lagi, aku kangen kamu, aku kangen ibu sama bapak juga.”

“Ra?” panggil Damar serius. "Kamu lagi melarikan diri?”
Mata itu mengerjap, Nara kaget bukan main akan kalimat yang kekasihnya lontarkan.

“Maksud kamu?”

“Nara milikku ini sedang sibuk mencari alasan untuk melupakan, berlari di tempat sampai-sampai lelah.” Damar menjeda kalimatnya, "maka dari itu kamu tidak bergerak sedikitpun.”

Pemikirannya melayang jauh, mengartikan setiap kalimat yang Damar ucapkan, sedangkan Damar sibuk mengulang kejadian yang pernah ia lewati bersama Nara.

Kadang wanita ini tanpa sadar membuka sebuah akun sosial media seseorang hanya untuk melihat postingan akun tersebut, kadang kala Damar juga memergoki Nara yang salah memanggil nama dirinya.

“Kamu nggak mau jujur sama aku, Ra?”

Nara tertunduk, memikirkan alasan seperti apa yang akan diterima Damar dari mulutnya. Jujur saja Nara menyayangi Damar namun bukan berarti dirinya telah melupakan sosok tersebut.

Cinta yang tidak tergapai selalu memiliki tempat tersendiri di hati.

Tiga tahun ini segala cara Nara lakukan untuk melupakan sosok Arjuna, mulai dari sibuk yang memakan semua waktunya sampai-sampai mencoba berbagi hati dengan orang baru sekalipun.

“Aku salah, aku minta maaf.”

Tatapan Damar tidak berubah, masih hangat seperti biasa. “Aku nggak tahu pria sesempurna apa yang sulit kamu lupakan, cinta pertama atau dia yang menggoreskan luka. Aku ingin pura-pura tidak tahu, Ra. Jujur, aku juga ingin jadi pengobatnya.”

“Tapi kamu bukan pelampiasan, Mar. Aku selalu berusaha untuk ngasih hati aku seutuhnya buat kamu.”

“Iya, Ra. Aku ngerasain tulusnya kamu. Tapi jika seperti ini terus bukan hanya percintaan kamu tapi karir kamu juga tidak beranjak. Kamu hanya nyari sibuk bukan dengan sungguh mencintai pekerjaan dan pasangan kamu.”

Nara berkutat kembali dengan kalimat yang Damar lontarkan.

“Seminggu ini aku bohong sama kamu, aku nggak keluar kota tapi aku ngehindarin kamu,” jelas Damar.

Wanita ini paham akan kemana arah perbincangan mereka.

Let’s break up. Bukan aku nggak sayang kamu, hanya saja hubungan kita nggak sehat, Ra. Aku yang selalu menanyakan status aku di hati kamu, dan kamu yang masih terbelenggu dengan masa lalu.”

Paham akan kalimat yang Damar berikan, Nara tersenyum kecut.

“Bahagia ya, Naraya?”

“Cari bahagia juga, Damar.”

Kalimat itu menjadi permisahan bagi keduanya, kisah kasih yang tidak lama membuat keduanya belajar bagaimana hubungan bahagia itu akan tercipta jika keduanya saling berbalas. Ragu yang mencuat akan masa lalu yang belum terselesaikan selalu menjadi penghalang kebahagian bagi pasangan yang menjalin kasih.

Damar pergi meninggalkan Nara.

Tidak butuh waktu lama kini Nara beranjak dari kursinya, punggung wanita itu kini dipandang oleh seseorang dengan tatapan yang teduh, Arjuna Bagaskara menyaksikanya, ia menahan semuanya dengan kuat, rindunya perlahan melebur namun masih menyisakan banyak rasa.

Latte itu sudah tidak panas lagi.

Masih dengan rasa bersalah, Arjuna berjanji akan membiarkan Nara mengambil waktunya, hingga sampai saatnya Nara memberanikan diri untuk bertemu dengannya lagi.

....

Dikit lagi ending, yeaaayy🥳🥳🥳🥳
Berhubung dikit lagi ending, silent readers absen dulu😁

Scene ini gk ada di AU dan cuma mau ngasih tau klo Arjuna juga sabar dan menghargai keputusan Nara.

Damar maaf, pemenangnya masih masa lalu🙏🏻

feel so fine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang