46. Bertemu Kembali

14.3K 563 4
                                    

“Memang udah siap ngobrol sama Juna?” tanya Faya di hari kelulusannya.

Jasmine mengangguk yakin. “Siap Kak, waktu juga sudah ngambil perannya tanpa disadari rasanya juga ikut pergi.”

“Secepat itu? Bohong kan?”

Jasmine pandang Faya lekat. “Keliatan ya, Kak?”

Keduanya saling terdiam. Jasmine yang berjuang sendiri, berteman dengan tangis dan kenangan, bercerita tentang rasa bersalah yang menggerogoti, bukan sesuatu hal yang mudah saat dirangkul kenyataan bahwa wanita ini harus berhenti mencintai.

“Usahanya sudah kuat, aku butuh maaf Kak Juna dan ikhlas dalam melespakan. Mungkin setelah bicara sama Kak Juna, jalan move on aku semakin mudah.”

Faya paham akan harap yang Jasmine torehkan pada hari ini. Netranya menjelajahi kembali, melihat Arjuna kini hanya berjalan bersama Dean.

Setelah kepergian Nara, Dean benar-benar memperhatikan Arjuna.

“Dean?” panggil Faya dengan suara lantangnya.

Kedua pria itu menghentikan langkah kakinya, memandang Faya dengan seorang wanita yang berjalan tepat di belakangnya. “Jun, Jasmine mau ngomong.” Faya yang mendapatkan senyuman dari Arjuna kini menggandeng lengan Dean untuk segera menjauh.

“Hai, Kak?” sapa Jasmine.

“Hai.”

Canggung menerjang keduanya.

“Selamat atas kelulusannya.” Jasmine ulurkan tangannya.

Sambutan tangan itu diterima Arjuna dengan perlahan. “Makasih.”

“Mungkin aku nggak tahu malu sampai hadir di hadapan Kakak seperti ini, jika tidak saat ini kayaknya aku nggak akan ada kesempatan lagi.” Wajah yang awalnya tertunduk kini merangkak kembali untuk memandang pria di hadapannya. “Maaf sempat mengecewakan, apa aku boleh ungkapin semua yang aku rasa?”

Arjuna mengangguk paham, membiarkan Jasmine bercerita tentang rasanya.

“Ini akan terlihat seperti pembelaan dan aku nggak meminta Kakak paham akan rasa aku, aku hanya ingin Kaka tahu, sisanya aku serahin semua ke Kakak, entah kecewa atau maaf yang diterima.” Jasmine menggumpulakan segala keberaniannya, ia benarkan kacamata yang sedikit turun.

“Aku di hadapin dengan dua pilihan sulit. Saat memilih, aku berharap ada satu yang bertahan tapi nyatanya aku kehilangan keduanya. Saat itu rasanya seperti tidak ada oksigen, sesak dan penuh takut. Aku akan memilih Nara karena dia sahabatku, dia yang secara tidak langsung mengenalkan arti percaya diri hingga membawa aku mengenal bagaimana rasanya disayangi oleh pria baik seperti Kaka. Egois yang menyakiti banyak pihak, kini sakitnya aku pikul sendiri. Aku minta maaf untuk keputusan yang bikin Kakak kecewa, aku minta maaf untuk sakitnya.”

Arjuna sentuh pundak Jasmine. “Terima kasih karena sudah memberanikan diri untuk menemui. Maafnya diterima ya, Jasmine.”

Angan Jasmine semakin tinggi, rasanya saat ini ingin sekali bertemu Nara, bercerita panjang lebar tentang damainya dengan Arjuna juga damainya dengan diri sendiri.

“Tinggal bertemu Nara?” tanya Arjuna.

Jasmine tertunduk melas. “Di antara kita, mungkin yang paling berat Nara, sampai-sampai pergi seperti ini. Tapi aku yakin Nara bisa sembuh. Ayo Kak, persiapin hati buat ketemu Nara.”

Seulas senyum tipis Arjuna tampilkan, dalam hati pria ini juga ingin sekali menyalurkan rindu yang kian menumpuk.

Memang waktu mengambil peran yang cukup besar prihal melupakan ataupun memaafkan, tetapi obrolan atas rasa yang dihadapi menjadi kunci akan maaf yang belum sempat mendengar jawaban.

...

“Serius lo tinggalin Jasmine sama Juna?” tanya Dean yang tangannya masih ditarik oleh Faya.

“Kenapa emang?” langkah keduanya terhenti.

“Apa nggak nyakitin hati masing-masing?”

“Ini kesempatan terakhir mereka.” Faya menggelengkan kepalanya, “Maksudnya bukan untuk kembali menjalin kasih tapi untuk saling mengucapkan maaf.”

“Lo kenapa cepet banget dewasanya si, Ya?” tanya Dean.

Faya tertawa meledek. “Karena gue udah dewasa, ayo teraktir gue!”

Dean mengernyit, pasrah saat sahabatnya ini menggandeng tangannya untuk mencari makan. Mungkin setelah ini ia tidak akan sering bertemu sahabat kecilnya lagi. Bayangnya mengelana jauh, sibuk yang mengambil alih akan menjadi alasan renggangnya persahabat mereka. Namun Dean sempat lupa ada Nara yang selalu menjadi pengait di antara mereka.

“Habis ini rencana lo apa?” tanya Faya saat mendudukan tubuhnya di kantin tempat biasa mereka mengistirahatkan diri.

Dean memperlihatkan wajah bingungnya. “Gue baru ngerasain finish, kenapa lo udah bahas start.

Satu notifikasi terdengar dari ponsel milik Faya, wanita itu hanya membaca pesan dari layar tanpa berniat untuk menjawabnya. “An?” panggil Faya serius.

“Nggak suka nih kalau serius begini.”

“Makasih banyak untuk segala bantuan di dunia perkampusan ini, lo selalu ada saat gue butuh.”

“Lo lagi ada masalah?” tanya Dean. Wajah yang ia majukan untuk mencari manik Faya yang kini tertunduk. “Ya? Faya,” panggilnya.

“Gue takut jika sehabis ini lo lupa sama gue, gue takut kita jaga jarak.”

“Hey. Hey.” Dean mengetuk pergelangan tangan wanita di hadapannya. Berusaha menyadarkan Faya akan ketakutan yang tidak berdasar itu. “Gue di sini, lo masih simpen nomer gue, lo juga masih punya Leo.”

Keduanya memiliki ketakutan yang sama, ruang lingkup yang semakin luas, karir yang harus dirintis dan orang baru akan datang silih berganti. Mereka sadar jika suatu saat nanti waktu itu akan datang dan tidak bisa dihindari, namun Faya juga sadar kalau dirinya terlalu bergantung dengan Dean.

“Kenapa chat aku nggak dibales?” Leo hadir di antara mereka.

Dean termenung melihat Leo yang begitu menyayangi sahabatnya, terlihat usapan kepala dan rangkulan lembut diberikan untuk Faya.

“Ketakutan lo itu nggak berdasar, Ya. Liat Leo yang selalu ada di samping lo,” ucap Dean.

“Beda, An.”

“Lo kenapa si, Ya?”

“Bunda lo bilang, lo pulang Bandung. Lo pergi, Nara pergi, trus gue sama siapa di sini?”

Dean terkekeh. “Jelek banget ngeluh mulu, Bandung doang. Kayak gue ke mana aja, lagi pula ada Leo.”

Faya pandang Leo di sampingnya. “Ada aku.” Leo tersenyum tulus. “Bandung itu nggak jauh, sayang.”
Usapan tangan Leo di lengan wanita itu mampu menenangkan hatinya.

Faya yang terlalu terbiasa akan hadirnya Dean kini dipaksa berpisah, nyatanya suatu saat nanti kedua sahabat ini akan menjalani hidupnya masing-masing, merintis bahagia dengan pasangan masing-masing yang kelak akan setia menemani hingga akhir.

feel so fine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang