41. Keduanya Kuat

11.7K 556 16
                                    

Seperti diciptakan sebagai fajar yang mencintai sang malam, seperti sang Bulan yang merindukan Bumi, Nara dengan ketidakmungkinannya.

Malam ini menjadi malam yang panjang bagi Nara, pundak yang sudah tidak bergetar dengan jejak air mata yang mengering, kini dirinya hanya terpaku memandang ponsel di hadapannya. Pasrah dengan semuanya, mungkin itu yang Nara rasakan saat ini, dirinya begitu lelah menghadapi semuanya, diamnya terlihat, sendunya terasa.

Malam ini adalah titik terendah yang Nara rasakan dalam kisah percintaannya, membiarkan dirinya terombang-ambing dalam jalan yang Tuhan berikan, jangankan tubuhnya, pikirannya saja sudah tidak dapat di ajak berkompromi.

Dean dan Faya yang berdiri di ambang pintu kini saling berbisik mengenai keadaan Nara yang sudah tidak karuan, diamnya Nara mampu membuat Faya meneteskan air matanya. “Gue nggak sanggup liat Nara begitu, An? Dia cuma bengong, seharusnya dia nangis kan, An?”

Pandangan yang awalnya hanya Nara yang ditangkap netra Dean kini berpindah saat ia merasakan lengannya digenggam Faya. Kedua sahabat ini saling menatap berbagi sedih melihat seseorang di dalam kamar itu, seseorang yang seharusnya menangis meraung-raung, seseorang yang seharusnya memaki dunia atas ketidakadilan yang dirinya terima.

Tuhan tolong kasih bahagia untuk Nara, harap Dean dalam hati. Dadanya ikut terasa sesek sampai bernapas pun sangat sulit.

“Ra,” panggil Faya perlahan. Mereka berdua berjalan mendekat ke arah Nara.

“Iya,” jawab Nara.

Saling melempar senyum, Faya duduk tepat dihadapan Nara, menyilakan kakinya juga menggenggam erat kedua tangan Nara, sedangkan Dean duduk menghadap keduanya.

“Mau nangis?” tanya Faya sembari merapihkan anak rambut yang menutupi wajah Nara. Hanya bengkak yang tersisa di area matanya, air mata itu tidak terlihat lagi, senyum yang dipaksakan membuat Faya meringis.

“Enggak, udah nggak terasa, Kak.”

“Mau cerita?” tanya Faya kembali.

“Boleh?” bola mata Nara membesar saat Faya menawarkan dirinya untuk menjadi pendengar.

“Iya, boleh. Dari awal bahagia hingga awal rasa sakit itu ada. Gue sama Dean di sini, dengerin semuaaaa cerita lo.” Faya menyentuh kedua pipi Nara, seperti memberitahukan, kalau Nara tidak sendiri saat ini, ada dirinya juga ada Dean.

“Dua tahun, dua tahun Nara naruh rasa ke Kak Juna dan satu tahun Kak Juna naruh rasa ke Jasmine. Semua karena Nara, Nara yang ajak Jasmine, Nara yang buat Jasmine dekat ke Kak Juna, Nara yang doain Jasmine biar dilancarkan hubungannya, doanya kekabul Kak, sakit banget rasanya,” kata Nara dengan tatapan yang memperlihatkan betapa perih hatinya selama ini. Jemarinya kanan yang meremas erat genggaman tangan Faya sebagai gambaran hatinya yang hancur.

Nara mengambil oksigen untuk memenuhi paru-parunya, ia mencoba mengatur hatinya kembali.

“Nara bahagia pas dekat Kak Juna, Nara bahagia pas Jasmine bisa berbaur sama kalian. Jasmine baik, tapi saat ini dia jahat ke dirinya sendiri, dia ngorbanin perasaannya biar Nara nggak sakit lagi, katanya biar bahagia. Jasmine juga jahat ke Kak Juna, padahal Kak Juna cinta banget ke dia.” Nara masih dengan wajah tanpa ekspresinya.

“Kalau diingat lagi, setiap ketemu mereka rasanya Nara nggak kebagian oksigen, rasanya bernapas saja susah, tapi Nara hadapin kok, senyum walau kadang wajah ini tertunduk. Usaha Nara besar dalam nyembunyiin perasaan ini, Kak.” Nara tatap Faya yang kini matanya sudah memerah.

Wanita manis itu tertunduk. “Nara kecewa sama Jasmine, perasaan yang Nara sembunyiin dengan begitu rapat dengan gampangnya dia beberkan ke Kak Juna, itu semua ngebuat Nara jadi antagonis di cerita mereka, Nara juga jadi antagonis di cerita Kak Tio. Karena ini kali ya, Nara nggak bahagia?”

feel so fine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang