40. Sama Bodohnya

11.9K 568 10
                                    

Faya dan Nara melangkah masuk tanpa menghiraukan apapun, berbeda dengan Dean yang baru saja turun dari kursi pengemudi, saat ini dirinya dihadang oleh Tio.

“Nara nggak apa-apa kan? Dia kenapa dah?” tanya Tio dengan cepat.

“Kayaknya Juna putus sama Jasmine terus nyalahin Nara,” jawab Dean dengan santai.

“Kok nyalahin Nara?” Tio mengkuti langkah Dean yang measuk ke Dalam rumahnya.

“Nara suka Juna,” ucapan itu membuat Tio terdiam. “Kok lo bisa sampe di sini si?” tanya Dean bingung.

Tidak ada jawaban dari Tio, kini pria itu semakin berlari untuk menemui Nara.

“Lo ngapain di sini?” cegah Faya saat Tio ingin masuk ke kamar tamu.

“Mau ketemu Nara, sebentar aja,” pinta Tio.

“Biarin dia istirahat, kasian anaknya.”

“Please? Lo tahu gue suka Nara, kan? Gue nggak bakal nyakitin dia, Fay,” rayu Tio.

“Jangan lama-lama.”

Tio menganggukan kepalanya, langkahnya pelan, maniknya menyusuri kamar yang cukup luas, ia lihat Nara yang yang kini tertunduk dengan tangan yang merengkuh kedua kakinya. “Ra?” panggilnya.

Wajah itu terangkat, Tio tatap wajah wanita manis, binar di mata Nara kini sudah redup, tidak seperti biasanya.

“Kak Tio.”

Tio mendudukan dirinya tepat di hadapan Nara, ia pandang wanita manis yang kini tatapannya sangat sendu. Saat ini hati Tio terdapat rasa kasian juga amarah yang menjadi satu. Pria ini paham jika mengejar Nara bukan sesuatu yang mudah, namun dirinya tidak paham jika setiap perasaan yang terkait harus dengan orang terdekatnya.

“Gue udah denger masalah lo sama Jasmine juga Juna. Gue kayak orang bodoh tau, Ra? Kali ini aja, boleh nggak si gue egois, boleh nggak gue marah akan rasa yang nggak berbalas ini? Boleh nggak gue berpikir kalau lo anggap gue orang yang gampang dibodohin, disaat gue ngasih semua rasa gue, ternyata lo ngasih rasa lo ke sahabat gue,” tutur Tio.

Bibir Nara bergetar mendengar rentetan kalimat yang Tio ucapkan, rasa bersalah dan lelahnya mengambil alih. “Udah, Kak.” Nara menjeda ucapannya, “gue capek banget, capek. Kak Tio udahin cinta sepihak lo, gue tahu rasanya, gue paham sakitnya, jadi gue mohon berhenti sukai gue,” pinta Nara yang kini sudah menyilakan kakinya.

“Kalau bisa mungkin rasanya sudah hilang dari lama,” ucap Tio.

“Bodoh adalah disaat lo mencintai seseorang dan orang yang lo cintai itu nggak mencintai lo balik.” Kalimat itu terucap secara spontan dari mulut Nara.

“Ngaca, Ra! Kita sama, bukan? Kita sama-sama bodoh.”

“Iya, Kak. Kita sama, maka dari itu ayo berhenti.”

“Lo nggak mau manfaatin gue aja? Gue ikhlas jadi pelampiasan lo.”

Nara meringis.

Kalimat Tio mampu menghancurkan harga dirinya. “Gue nggak mau nyakitin orang lain buat nyembuhin diri gue.”

“Ra jangan nangis.” Tio mengapus air mata Nara. “Gue nggak maksa lo, tapi inget, gue tetap di sini, kalau lo cari gue atau butuh gue, gue di tempat yang sama dengan rasa yang sama.”

Nara tatap pria di hadapannya. “Kalau gitu, gue bakal jadi satu-satunya antagonis di kehidupan kalian, gue ngancurin hubungan sahabat gue dengan pacarnya, gue juga ngancurin hati lo, gue nggak mau punya lebel itu.” Nara memejamkan matanya. “Kak Tio, gue mohon berhenti, tolong sayangi hati lo.”

“Maafin ucapan gue,” Tio tertunduk. Rasa penyesalan akan ucapannya yang telah menggores hati wanita yang disayanginya.

“Kak, lihat gue.” Nara tepuk lengan Tio. “Maaf untuk rasa sakitnya, ayo sembuh bareng, gue juga pengen lihat lo bahagia.”

“Bahagia gue ada di lo, gue harus cari ke mana lagi, Ra?” sorot mata itu terlihat jujur namun apadaya semuanya akan sia-sia, Nara tetap pada pendiriannya.

Pertama kali bagi Nara melihat Tio menitikan air mata, pertahanan pria di hadapannya seketika runtuh, tulusnya kini dipertaruhkan oleh rasa egois, dalam hatinya ia sangat ingin memiliki Nara.

“Cinta sepihak itu sakit, sebelum lukanya dalam obatnya hanya berhenti.”

“Kita nggak bisa coba dulu?” Tio yang masih dengan keteguhannya.

“Enggak Kak, maaf gue lebih memilih sembuh dengan cara gue sendiri.”

“Gue harus nyerah?”

Nara tersenyum tipis. “Gue tunggu kabar bahagianya, makasih untuk semua perhatian lo dan maaf untuk rasa yang nggak berbalas.”

Penolakan yang akhirnya Tio terima, memang menyakitkan baginya namun apadaya sebuah perasaan tidak dapat diatur kepada siapa akan berlabuh, bahagia dan sakit bagaikan angin dan ombak yang menemani ke mana rasa itu berlayar dan berhenti.

“Boleh gue peluk untuk terakhir kalinya?”

Anantio menyerah, ia letakan rasanya untuk wanita berambut pendek ini,  kenangan yang telah diukir mungkin akan menghasilkan perih saat ia ingat kembali.

Dirinya tidak dihadapkan banyak pilihan melainkan tetap melangkah, bukan untuk menghilangkan rasa tetapi tetap memeliharanya.

Kini Tio sadar rasanya tidak dapat dipaksakan, hangatnya pelukan membuat jantungnya berdesir perih.

Sampai disini usaha gue buat naklukin hati lo, Ra, cari bahagia ya cantik, batin Tio.

Rengkuhan hangat yang Nara terima sebagai ucapan selamat tinggal dari seseorang yang selalu ada di pihaknya, seseorang yang selalu memandangnya dengan penuh kasih, seseorang yang mementingkan dirinya di atas apapun.

Jika seandainya bisa memilih kepada siapa hatinya berlabuh, dirinya bersumpah akan memilih Anantio Danuarja.

feel so fine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang