44. Kisah Yang Dilanjutkan

13K 574 3
                                    

Jakarta menyapa bersama teriknya. Detik-detik yang berjalan menuju jam bahkan mampu menggantikan hari. Kini satu bulan sudah terlewatkan, namun rasa sakit di antara mereka masih setia dan enggan beranjak.

Saat ini ada seorang wanita dengan kacamatanya tengah berkutat dengan laptop di hadapannya, kamar kos itu selalu tertutup rapat untuk siapapun sama seperti hari-harinya. Di sini seorang wanita bernama Jasmine Kaila mengurung dirinya, sepi yang menemani terkadang memicu beberapa tetes air mata, rindunya terhadap keluarga dan sahabat yang entah ke mana perginya, ia bertahan untuk pendidikannya meski kadang kepala dan hatinya terasa sakit secara bersamaan. Keadaanya menyiksa hingga batas maksimal, dirinya dibuat tidak berkutik bahkan kalimat-kalimat indah yang memotivasi tidak akan ia tanggapi.

Ketukan pintu yang terdengar menggangu konsentrasi, kaki malas yang kini sudah terpijak perlahan melangkah. Jasmine benar-benar tenggelam dengan gelapnya bahkan suara pintu yang bergerak mampu menyakiti hatinya, teringat akan Nara dan Arjuna yang selalu mengetuk pintu kamar kos yang ia tempati.

“Makan di luar, yuk?” ajak Faya dengan binar harap di matanya.

“Makasih Kak, tapi aku lagi ngerjain tugas, maaf.”

Faya pandang Jasmine yang kini sudah kehilangan berat badangnya, mata yang lelah dan wajah yang kini jarang tersenyum. “Lo makin kurus, kalau Nara liat, gue bisa kena salty.”

“Iya kah, Kak? Jasmine nggak ngerasa kurusan kok.”

“Coba sekarang ke cermin.”

Jasmine mengikuti ucapan yang Faya lontarkan, ia pandang tubuhnya yang kini terlihat semakin kurus, tulang selangka yang terlihat jelas, juga pipi tirus yang membuat wajahnya terlihat lelah.

“Yuk makan,” ajak Faya.

Jasmine yang tertunduk mengingat Nara dengan semua rasa sakitnya.

“Memangnya Jasmine boleh seneng?”
Langkah kaki membawa Faya mendekat, ia arahkan wajah Jasmine untuk tidak menunduk lagi.

“Kalau Jasmine yang di cermin bisa ngomong, gue jamin dia marah sama lo yang di sini.” Faya membuka kacamata yang Jasmine kenakan. “Mata ini sudah banyak menangis dan hati ini sudah banyak terluka juga. Abaikan dia yang meminta lo untuk bahagia, sekarang cukup untuk menyiksa diri.”

Pikirannya kini melayang, mengulang kembali kalimat yang pernah sahabatnya ucapkan, saling memaafkan terutama ke diri sendiri, rentetan kata itu pernah ia dengar namun ‘tak pernah ia laksanakan.

Wajah yang awalnya memandang cermin kini beralih ke seseorang yang berdiri tepat di sebelahnya. “Nara di sana bahagia nggak, Kak?”

“Nara di sana lagi berjuang juga, nyembuhin hati nggak semudah yang dikira, kondisi dia jauh lebih baik dari lo.” Faya tersenyum yakin. “Memang benar jika membiarkan waktu yang nyembuhin, tapi bukan berarti lo nggak bekerjasama dengan waktu itu.”

Kepala Jasmine tertunduk kembali.

“Jika nanti kalian dipertemukan lagi, gue berharap sembuhnya hati menjadi pengantar senyum sapa.” Faya menghapus satu tetes air mata yang jatuh di pipi Jasmine. “Kisah lo belum bertemu ending, jadi ayo jalani dengan benar,” tutupnya.

Genggaman tangan Faya seakan menyalurkan sedikit harap dan semangat untuk Jasmine. Pikirannya bergelut tentang efek yang cukup parah bagi mereka yang terlibat dalam kisah rumit ini.

Hari-hari yang Jasmine lewati terasa berat, sedih yang menjalar saat sosok Arjuna lewat di hadapnya, rasa bersalah saat langkah kakinya melewati pintu kamar kos yang sempat Nara singgahi. Jasmine sering bertanya di mana Nara tinggal, namun selalu senyum yang Faya berikan. Pesan yang tidak terkirim memupuk rasa bersalah hingga mengakar. Cuitan yang selalu Jasmine sampaikan tanpa henti, walau sang penerima tidak sedikitpun mendapatkannya.

...

Kala malam menyapa dengan dingin yang menemani. Kamar kos itu tidak berubah, masih terlihat rapih namun berbanding terbalik dengan hati penghuninya. Seperti biasa, Jasmine dengan room chat tertuliskan nama Nara dibagian atas layar ponselnya. Jemarinya dengan lihai mengetik apa yang lisannya ucapkan.

“Udah satu bulan perginya dan aku nggak tahu di mana kamu berada.”

“Oiya, Ra. Hari ini aku diajakin makan di luar sama Kak Faya, makasih banyak sudah menitipkan Kak Faya. Hari ini Kak Faya banyak cerita sampai aku mikir, apa aku boleh sedikit lega karena dia bilang, kamu di sana sedang berusaha sembuh juga.”

“Aku doakan dari sini, ya, Ra?”
Jasmine menarik napasnya dalam agar emosinya bisa ia control, air matanya yang memaksa keluar sebisa mungkin ia tahan.

“Satu bulan ini berat badan aku turun sampai 7kg, entah apa yang aku pikirkan, aku juga bingung kenapa berat badan ini menyusut dengan drastis.”

“Aku selalu mikir, kalau aku belum pantas bahagia setelah apa yang sudah aku perbuat ke kamu dan Kak Juna, tapi hari ini Kak Faya bilang jangan nyiksa diri, dia ngasih gambaran ke aku kalau nanti kita bertemu, pertama yang tercipta itu senyuman kesembuhan hati, aku kangen kamu, Ra.”

Air mata yang dengan sekuat tenaga ia tahan kini lolos  dan dengan segera ia hapus.

“Aku janji akan cari bahagia punyaku, nanti jika kita bertemu lagi akan aku ceritakan semuanya.”

“Kalau aku nikah dan memiliki anak, akan aku ceritakan bahwa aku pernah memiliki sahabat yang begitu hebat.”

“Seorang sahabat yang hebat dalam hal mendukung, mendoakan bahkan hebat dalam menahan semua pilu itu sendirian, tidak lupa dia juga hebat dalam hal mengikhlaskan.”

“Nara ayo sembuh bersama, mari kita bertemu kembali.”

Jasmine taruh ponsel itu, kini ia leluasa menangis dengan wajah yang tertutup kedua telapak tangannya. Napas yang tidak teratur dengan isakan yang menggila, Jasmine tumpahkan semuanya malam ini, rasa bersalah dan rindu yang bercampur membuat kalut itu bersemayam cukup lama, kini perlahan ia mencoba mengurainya.

Wanita baik yang tidak beruntung dalam hal percintaan maupun persahabatan. Harap yang tersirat disetiap air mata yang mengalir, meminta sedikit keberuntungan untuk mengores seulas senyum, rasa yang sulit diceritakan hingga butuh banyak teriakan untuk sedikit melepas sesak di dadanya.

...

Malam yang sama dengan kondisi yang sama, Arjuna Bagaskara dengan hati yang tersayat memaksa Dean menjawab pertanyaannya.

“Kasih tahu gue, Nara ada di mana?”
Dean menggelengkan kepalanya, pendiriannya cukup kuat, walau tidak tega melihat sang sahabat yang kini telah hancur.

“Bantu gue.”

“Lo mau apa, Jun? minta maaf atau nyiksa dia lagi?” tegas Dean yang kini duduk di café milik Leo seorang diri.

“Gue kangen Nara.”

Kekehan yang terdengar membuat Arjuna semakin menundukan kepalanya. “Gila! Dateng-dateng tuh duduk dulu, minum biar pikiran lo seger,” kata Dean dengan menyodorkan minuman miliknya ke hadapan Arjuna.

“Apa perlu gue mohon-mohon di kaki lo? Akan gue lakuin kalau lo kasih tahu di mana keberadaan Nara.”

“Lo inget yang dibilang Faya, nggak? Sembuhin hati masing-masing, Jun! Bahkan gue ragu kalau perasaan lo tulus buat Nara atau mungkin lo mau jadiin Nara pelarian karena lo abis diputusin sama Jasmnie?” Dean memandang lurus tepat pada manik milik Arjuna. “Tenangin hati dulu, cari jawabannya perlahan, oke?” lanjutnya.

“Tapi gue kangen Nara, Dean.”

Dean sedikit memajukan wajahnya. “Nggak lo doang. Ada Jasmine sama Tio yang rindu Nara,” ucapannya terjeda. “Dan satu lagi. Ngampus yang bener! Mau ngulang? Hah!”

Arjuna Bagaskara kini tersiksa dengan rindu yang ‘tak bersuara, hari lelahnya yang tanpa sandaran, ingin rasanya rindu itu berbalas, berangan-angan ia mengusap kembali puncak kepala wanita manis itu, berbincang lama dengan binar mata yang masih terekam jelas.

“Ada kisah yang harus lo lanjutkan!” ucap Dean dengan menepuk pundak sahabatnya dan berlalu menggambil satu botol air mineral. “Minum! Lo terlalu kacau buat orang yang patah hati tanpa sempat miliki,” tambahnya.

feel so fine [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang