Existence

125 8 0
                                    

Angkasa lepas masih berwarna hitam di taburi warna-warni cahaya bintang-bintang yang bergemerlap bagai glitter hias.

Melihat meteor yang bergerak melewati langit Planet dengan mata telanjang bukanlah hal mustahil di sini, sebuah planet dengan atmosfer bening bagai rumah kaca.

Sopan le'Fusiona Faery, masih setia menatap langit tak berwarna itu di tengah lapangan kapas pink yang lembut dan empuk.

Buku yang seharusnya ia baca di biarkan sendirian di sampingnya dengan keadaan tertutup sempurna bersama sebungkus biskuit yang sudah habis tak tersisa.

Membiarkan para semut pekerja bertopi hitam mengambil rempahan nya diam-diam ke sarang mereka dengan hati gembira.

'Pssst....ayo cepat ambil sisanya! Numpung Tuan Muda Sopan lagi melamun!'

'Ayo cepat! Nanti kalau dia sadar pasti akan dibereskan hingga bersih!'

'Wuhahaha... Rempahan nya banyak! kita makan besar malam ini!'

"Pfft..."

Sopan terkekeh pelan mendengar suara para semut pekerja yang sedang buru-buru, tidak mengetahui kalau dirinya sudah mendengar mereka sedari tadi.

Para semut memang terlalu malu untuk meminta, padahal yang kebutuhan makan mereka tidaklah sebesar mahluk lain, sebungkus biskuit bahkan cukup untuk satu bulan penuh untuk 1 koloni semut yang terdiri dari 100 hingga 500 anggota.

Membiarkan para semut bekerja, Sopan kembali menatap langit yang tidak pernah berubah di atas planet ini, masih cantik dan indah.

Luar angkasa, bagaimana rasanya ada di atas disana? Sopan mungkin bisa terbang namun dirinya tidak pernah melewati batas atmosfer bening itu, salah satu alasannya karena Bunda nya akan mencegah nya kalau terbang setinggi itu.

Bunda bilang, di atas sana tidak ada oksigen, sebuah zat atom yang dibutuhkan manusia untuk hidup melalui sistem bernama pernafasan, maka jika tidak ada, dirinya bisa mati.

Tapi, Bunda nya bilang kalau ada cara lain untuk terbang ke atas sana, melewati atmosfer dan mengelilingi para bintang, dengan kapal luar angkasa. Namun, hanya mereka yang memiliki ijin dan memenuhi persyaratan yang boleh menaiki kapal itu.

Dan usia minimalnya adalah 16 tahun, Sopan masih harus menunggu 6 tahun lagi untuk bisa ikut. Tapi tak apa, Sopan tahu dirinya adalah penyabar yang ulung, menunggu selama itu bukan apa-apa baginya yang telah bersabar menghadapi para saudara-saudara kembar nya yang tingkahnya sudah bagai preman jalanan—kecuali kakak keduanya yang kalem adem tentunya.

"SOPAAAAN!!"

Lihat? Dirinya baik-baik saja kok setelah mendengar suara bagai toa milik kakak kembarnya, Gentar, yang berteriak kencang padahal jarak mereka hanya tinggal dua puluh langkah kaki lagi.

Bangun dari tidur telentang nya, Sopan memasang senyum andalannya saat menghadap kakak yang menjatuhkan dirinya tepat ke samping nya dari atas lapangan "Kak... Tolong kondisi kan suara kakak lain kali.... Telinga saya sakit."

"Maaf maaf, habisnya kamu gak denger padahal sudah ku teriak dari tadi" Jawab Gentar yang cengengesan sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, "Nontonin langit lagi Sop?"

"Sopan kak, tolong panggil nama saya dengan benar dan lengkap..." Sopan masih tersenyum kok. Sungguh.... Dia benar-benar nggak kesal kakaknya menyingkat namanya yang penuh doa baik itu menjadi jenis makanan berkuah.

"Ya apalah itu," Jawab Gentar mengabaikan kerutan di kepala adik satu-satunya "Kagak bosen apa? Kak Sup dan Kak Sor juga sama kayak kamu, mantengin langit terus, padahal udh tau gak bakal berubah, kalian kenapa sih?"

Short Stories By Moss.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang