Unknown Swords 3

59 4 0
                                    


Ataraxia hanya ingin satu hal saat ini.

"Aku menolak." Ucapnya dengan tenang saat dirinya dipandang dua pasang Manik berbeda yang menatap dirinya rumit, "Seperti yang anda lihat, aku baik-baik saja sendiri. Tak perlu basa-basi perihal ini, silahkan kembali."

Dia hanya butuh satu hal yang benar-benar penting sekarang, lalu kenapa orang-orang ini malah datang menghalangi nya?

"Ataraxia—"

"Aku mengerti apa yang kalian maksud, tapi Aku tidak menaruh perasaan dendam atau apa pada apa yang kalian telah lakukan waktu itu. jadi tolong kembali saja bersama anak-anak anda dan lupakan soal ini, anggap saja kejadian ini tidak pernah ada." Ujar Ataraxia dengan penekanan di bagian akhir, dirinya menatap dua pasang Manik silver dan Aqua didepannya dengan pandangan yang tegas, memohon pada mereka agar segera pergi dari hadapannya.

Tidak, dia sungguh tidak membenci dua orang ini, dan juga orang yang bermanik merah darah itu- yang ia sudah duga tidak akan mungkin datang bersama dua orang ini kemari- bahkan setelah apa yang mereka lakukan padanya dulu.

Sejak awal Ataraxia tahu bahwa dirinya memang bukan bagian dari mereka, dia hanyalah produk eksperimental yang kebetulan bisa bertahan hingga kini, itupun berkat bantuan kekuatan mentor nya yang membawanya ke Divisi 5 dulu untuk menstabilkan inti elemennya.

Ataraxia paham, karena itu dirinya tidak pernah menaruh perasaan apapun pada mereka. Apa boleh buat, mereka punya permasalahan mereka sendiri, Ataraxia tidak mungkin menjadikan itu sebagai alasan untuk menyalahkan mereka terus-menerus atas keadaannya saat ini saat dia bisa melangkah sendiri.

*Dendam itu tidak baik... *batinnya menatap dua orang didepannya, sebisa mungkin mempertahankan ekspresinya agar tidak emosional dengan kejadian hari ini.

Dia sudah terbiasa untuk sendiri, dan Ataraxia berharap akan terus begitu. Namun apa daya yang ia bisa lakukan ketika menerima panggilan darurat saat tahu dua orang yang seharusnya tidak berada di sana malah ditempat dia misi, dan hampir kehilangan nyawa mereka karena mahluk itu.

Mereka tidak lemah, semua orang tahu itu tapi masalahnya yang mereka hadapi bukan lawan yang tepat untuk di tangani dengan kekuatan 'fisik' saja.

Memastikan bahwa mereka selamat lalu menghadapi runtutan pertanyaan mereka yang tidak mungkin dihindari sudah cukup untuk menguras tenaganya, terlebih dia perlu  keberanian besar untuk melaporkan hal ini pada Tuan Halilintar yang mungkin akan membunuhnya kalau sampai putra pertamanya mati begitu.

Untung saja tidak kejadian.

Jadi dia benar-benar tidak perlu ajakan untuk ikut dengan mereka ke rumah mereka hanya karena alasan semacam kesempatan kedua atau simpati, Ataraxia sudah di ambang batasnya asal mereka tahu.

"Hah... Baik baik, aku mengerti kamu tidak suka dengan kehadiran kami disini. Maka kami tidak akan memaksa lagi soal tadi," Ice menghela nafas, sedikit mengangkat tangannya pada Solar yang hendak protes disamping nya, "Kalau begitu, bisakah kau ikut kami hanya untuk sekedar berkunjung?"

"Sudah ku bilang, aku tidak—"

"Hanya berkunjung, aku tidak akan meminta mu untuk menganggap kami sebagai keluarga dan sebaliknya. Hak mu akan ku jamin. "

"..."

Ice memang telah lama meninggalkan anak ini sejak melihat bagaimana tidak stabilnya tubuh kecil itu, namun pembicaraan nya tadi membuatnya yakin akan satu hal.

Ataraxia tidak suka bujukan penuh simpatik, mirip seperti bagaimana kakak sulungnya tidak suka dikasihani, jadi jelas Ice perlu cara lain daripada menghadapi kekeraskepalaan itu.

Sampai tahun depan pun, Ice yakin gak akan berhasil kalau diteruskan.

"Aku setuju, setidaknya biarkan yang lain tahu tentang mu itu cukup," Solar ikut menambahkan saat dia paham apa yang Ice coba lakukan,"Ini permintaan kami, kalau kau setuju, meski hanya sebentar, kami akan menggantinya juga."

Ataraxia menunduk, yang mereka katakan sebenarnya cukup menguntungkan, tapi tetap saja...

"Berikan aku waktu."

Ataraxia belum siap. Kepalanya terasa begitu berat sekarang, dengan segenap tenaga yang ia punya, Ataraxia berusaha untuk tetap terlihat tegap.

"Sampai kapan? Bukannya akan lebih mudah kalau ikut kami sekarang? Sekalian kami kembali maksudnya." Tanya Ice dengan alis terangkat.

"Setidaknya jangan malam ini." Ujar Ataraxia, sedikit gemetar dibagian akhir. Dia yakin dirinya akan ambruk sebentar lagi.

"Maaf mengganggu, tapi sepertinya Kau harus ikut mereka sekarang, Ataraxia." Sebuah suara asing menyela dari arah pintu ruangan yang seharusnya hanya ada mereka bertiga.

Pria berambut blonde pucat panjang yang diikat ke belakang berada di sana, membawa beberapa kertas yang tampaknya berupa dokumen penting dengan senyum kasihan terpampang di wajahnya.

"Admiral Valles..." Ataraxia mendesis, wajah menyebalkan si atasan adalah tanda-tanda bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan akan datang.

"Apa maksud mu Valles?" Solar mengerutkan alisnya.

"Yah~~ Komandan Kokoci baru saja mengirimkan permintaan bantuan pada divisi 5, dan numpung kalian di ini jadi kukira sekalian saja mengirim Tim Axia—"

Suara jatuh memotong perkataan Valles, membuat perhatian tiga orang dewasa teralihkan pada sumber suara.

"Ataraxia?!" Ice hampir melompat kaget saat tubuh remaja itu terkapar ke samping dengan wajah lemas, namun pergerakan nya terhenti saat mendengar suara dengkuran kecil dari anak itu.

"...."

"....."

"Ah... Aku lupa kalau anak ini belum tidur selama 4 hari saat misi kemarin..." Ujar Valles dengan datar, menggaruk belakang telinganya.


.


.


.


End?

Besok-besok mungkin pakai judul lain dengan timeline acak.

Short Stories By Moss.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang