Beyond.

109 4 10
                                    

Masih nyambung ama Chapter Traveler.

________________________________________






Dia disini lagi.

Di kegelapan tak berujung di antara kerlap-kerlip gugusan bintang galaksi, di ruang hampa tak berlandaskan apapun, mengambang dalam kesunyian.

"Huh—" Dia menghela nafas, bertanya dalam batin, sampai kapan dia akan terus memimpikan ini? Mimpi yang selalu sama, hampir setiap hari sejak dia kecil bahkan sebelum ia membuka mata ke dunia, "Ini lagi..."

Dia lelah. Pemandangan yang sama, yang selalu ia lihat setiap memejamkan mata. Cahaya kerap kerlip yang membentang di sepanjang ia melihat, memaksanya untuk terus melihat semua ini bahkan ketika raga nya tertidur di dunia nyata.

Dia penat, pemandangan ini selalu mengingatkannya pada apa yang orang-orang katakan padanya, menekan dirinya dengan ekspektasi-ekspektasi yang mungkin memang hanya dia yang bisa.

"Lampaui batas... Itukah yang kalian mau?"

Arti nama yang diberikan oleh ayahnya,  harapan untuk melampaui batasan yang dia tidak bisa gapai, mama yang menemaninya sedari bayi dengan segenap tekanan yang tersamarkan oleh kata-kata manis.

Ayahnya, bawahan ayahnya, guru-guru dan anak-anak di sekolah nya, hingga orang luar pun selalu mengatakan hal yang sama setiap kali membahas segala hal yang berhubungan dengan nya.

*"Lihatlah ke atas dan tembus langit biru itu. " *

"Padahal aku benci matahari." Ucapnya pelan, hampir bergumam. Dirinya mencoba meringkuk, memeluk kedua kakinya seraya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan tubuhnya sendiri, berupaya memejamkan matanya agar pemandangan ini cepat hilang.

"Aku hanya ingin tetap di sini."

Salah kah dia berharap agar tetap bisa berada ditempat nya sekarang? Menjadi dirinya sendiri bukan apa yang orang-orang inginkan, bukan apa yang mereka mau? Karena sungguh, Dia sudah muak, dengan segala ekspektasi yang ditujukan padanya.

Hanya karena dirinya adalah apa yang orang-orang katakan sebagai jenius, seorang dengan bakat dan potensi tak terhingga yang besar.

Hanya karena dia, bisa melakukan apa yang seharusnya kebanyakan orang belum bisa lakukan bahkan mustahil di umurnya sekarang.

Hanya karena dia, adalah perwujudan dari melampaui itu sendiri.

Sejujurnya, batas macam apa yang Ayahnya maksud? Dengan dirinya yang memang tidak bisa dikatakan normal, batas macam apa yang perlu ia raih hingga ayahnya itu puas?

"Melewati batas itu mengerikan."

Apa dia perlu melangkahi batasnya sebagai mahluk hidup?

Menjadi monster yang bahkan dia tidak bisa dideskripsikan, tidak bisa dia prediksi? Menjadi apa yang mereka sebut dengan Ketidakpastian, ketidaktahuan dan ketidakjelasan?

"Aku ingin tetap menjadi manusia..."

Karena melewati batas itu menakutkan, karena dia tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya, apa yang akan terjadi padanya sendiri.

*"Kalau begitu, berhentilah." *

Mengingat suara datar itu membuatnya merasa lebih baik, Ruang disekitarnya menggelap seolah di serap oleh lubang hitam yang pekat, perlahan namun pasti, menghisapnya dalam kegelapan yang paling dalam. Dasar dari dasar jurang dalam.

Biasanya orang akan panik.

Biasanya orang akan takut.

Biasanya orang akan putus asa.

Namun dia tidak. Karena hanya dengan kegelapan ini, dia bisa beristirahat dengan benar.

Hanya dengan ini, dia bisa merasa tenang.

Kemustahilan yang selalu dibawakan oleh kakak nya— kakak sepupu yang ayahnya adopsi jauh sebelum dirinya lahir– lambang dari kegelapan, kemustahilan, sebuah Abyss tak berdasar, monster yang ia tidak bisa mengerti.

Milik si mata merah darah yang pasti selalu menyambutnya dikala matanya terbuka nanti.

Tanpa sadar, dirinya tersenyum tipis.

"Kak Hali ada disini."















"Dia memang disini ya..." gumamnya menatap kaca bening yang menampilkan bintang dan planet galaksi, kapal-kapal luar angkasa berlalu lalang dihadapannya, seperti yang dia harapkan dari markas utama organisasi selevel galaksi.

"Lancer? Tidak tidur?"

Dia sedikit tersentak, sebelum menenangkan dirinya kembali mendengar nada datar yang mirip–bukan, sama persis dengan orang yang keberadaannya baru saja ia rasakan, entah dimana diantara penjuru galaksi ini.

"Servant tidak perlu tidur, Hali. Lagipun aku masih punya tugas melindungi Masterku." Jawabnya sambil berbalik badan menghadap orang bermanik Ruby yang umurnya tidak jauh dengannya.

Rasanya agak aneh, karena dirinya terbiasa melihat orang ini dengan rupa orang dewasa dalam hidupnya dulu.

"Ah, Teman sedivisi nya Ataraxia ya? Kudengar dia belum bangun. Fujimaru masih terus mengawasinya dengan yang lain." orang bernama Halilintar itu mengangguk mengerti alasannya disini, mungkin.

"Ya, aku tahu itu."

Halilintar berjalan ke sampingnya, turut menatap langit gelap angkasa. Mereka berdua diam untuk sesaat sebelum Halilintar kembali bertanya, "Menurutmu, siapa yang melakukan semua ini?"

Dia menoleh ke arah wajah yang tampak sangat dingin itu. Mirip namun yang ini masih terlihat seperti mahluk hidup pada umumnya, respon yang sangat manusiawi berbanding balik dengan orang yang dia kenal.

Tentu saja, semua orang harusnya begini saat kabar orang-orang disayangi mereka terluka. Bukan sepertinya, atau orang itu.

Orang ini benar-benar manusia, hingga membuatnya diam-diam tersenyum karena merasa geli, memikirkan apa yang terjadi kalau sampai dia tahu apa jawaban dari pertanyaannya tadi.

"Itu kamu. Yang dari dunia lain."

Manik Ruby itu melebar dalam raut ketidakpercayaan.








_________________________________________

Ide Moss buat Au ini agak absurd, sering kecampur-campur dan masih berantakan.... tapi pengen ditulis, Jadilah ini :v

Au ini agak rumit ada dua dunia yang menjadi latar tempat, dunia dimana Boel dan Bofu (dan fanfusion Moss) adalah anggota tapops dan dunia tempat asal para Servant sebelum mereka mati.

Dunia nya Fujimaru gak usah dipikirin, paling cuma disebut dikit doang.

Dan chapter intinya adalah masa lalunya Lancer Supra. Dah gitu.

Next, antara Servant Taufan atau  Servant Blaze, mana yang Readers mau?

Short Stories By Moss.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang