"Siapa— ah."
Dua pasang Manik itu bertemu, saling menatap satu sama lain dengan wajah tertegun.
Halilintar berdecak kecil, padahal niat awalnya hanya sekedar mengisi perut setelah pulang malam dari misi, tidak mungkin dia harus membangunkan Gempa hanya untuk makan saat dia pulang tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Jelas dia akan kaget ketika menemukan mahluk lain sudah ada di dapur jam segini, dan lagi itu bukan adiknya yang suka begadang.
Dia benar-benar lupa bahwa orang itu ada disini juga, sesosok mahluk yang memiliki netra merah darah campur biru laut yang kini menatapnya dalam diam di dalam counter.
Halilintar dapat melihat dibelakang anak itu ada wajan di atas kompor yang menyala, pantas saja aroma makanan dapat dia cium dari lorong, ternyata dia yang memasak.
Suara dari perutnya cukup memecahkan keheningan mereka berdua yang sama-sama tidak tahu harus berkata apa.
"... haruskah aku memasak satu porsi lagi?" Anak itu menyahut dengan wajah kikuk, tangannya masih dengan telaten memasak apapun yang di atas kompor.
"Buat itu sedikit pedas." Ujar Halilintar sambil berjalan masuk menuju mesin kopi. Kalau udh ditawarin kenapa harus repot bikin sendiri kan?
Anak itu, hanya ber-hmm-ria kecil sebelum lanjut memasak.
Tak berselang lama, satu piring nasgor tersedia didepannya, Sedikit merah tanda ada cabai di dalamnya, persis apa yang Halilintar minta.
"Makasih."
Anak yang hendak menyuap makanannya sendiri itu tersentak kaget. Manik ruby-aqua itu berkedip sambil menatapnya seolah-olah dia telah melakukan hal yang amat ganjil.
"Apa?" Halilintar jujur merasa risih ditatap begitu.
Anak itu berhenti menatapnya, dan beralih pada piringnya sendiri sambil berkata, "... Agak aneh mendengar kata itu dari anda, bikin merinding."
Halilintar menghembuskan nafas kesal, memangnya salah ya dia bilang terimakasih gitu?
Heran kadang, orang-orang sering protes dia terlalu kasar dan kaku tapi giliran dia mencoba jadi lebih ramah selalu dibilang aneh lah, menakutkan lah, tanda kiamat udh deket lah dan semacamnya.
Apa mereka semua lupa kalau dia juga manusia yang pernah di ajarkan 5S saat sekolah dulu atau gimana? Seenggaknya dia selalu jujur loh... Kalau dia bilang terima kasih, itu beneran tulus kok.
"Lupakan, kenapa kau malah ke sini?"
Kasar, dan terdengar seperti mengusir.
Halilintar tahu betul bahwa caranya bicara pada anak yang baru saja datang ke tempat ini atas permintaan adik-adiknya, akan tampak seperti dia tidak menerima kehadirannya sebagai keluarga. Apalagi anaknya sendiri.Dan memang itulah yang terjadi.
"Mereka yang maksa," Anak itu tertawa kecil, meminum teh hangat nya yang dia buat tadi lalu melanjutkan, "Ini tidak seperti aku bisa lari juga, cepat lambat ini pasti akan terjadi, akan lebih baik jika diselesaikan dengan segera."
"Sensei akan kecewa kalau aku lari dari masalah sepele seperti ini. Aku bukan anda." tambah anak itu menatapnya tepat di mata.
Halilintar mendengus, merasa jengkel dengan nada menantang yang anak itu keluarkan di akhir kalimat, "Bocah tak tahu diri."
Anak itu hanya menggendikan bahu, sebelum kembali meminum tehnya dengan tenang.
"Laporan tentang itu?"
"Sudah kukirim."
Keheningan kembali melanda saat mereka berdua kalut dalam kesibukan masing-masing sambil menyelesaikan makanan di piring mereka.
Tak ada kata yang perlu keluar, tak ada emosi yang perlu dilimpahkan. Cara komunikasi mereka memang selalu begini, berakhir dalam sunyi tanpa rasa apapun.
Tanpa perlu diperjelas, mereka memang tidak pernah ingin berbicara lebih jauh, terkesan dingin dan tanpa afeksi, hanya ada seorang bawahan dan atasan di antara mereka.
Mana sudi Halilintar mengakui mahluk jadi-jadian didepannya ini adalah anaknya, walau siapapun bisa melihat jelas darimana kekuatan dan rupa datar anak ini berasal.
Dan tampaknya anak itu pula, tidak ingin mengakui kalau dirinya memiliki hubungan darah dengan Halilintar dan yang lain, atau mungkin dia hanya tidak pernah peduli.
Makannya, Halilintar tahu anak itu juga tidak masalah dengan ini semua.
"Aku duluan." ujar Anak itu mengakhiri sesi perbincangan mereka, menuju ke dalam dapur lagi untuk mencuci piring bekasnya tanpa ragu.
"Ataraxia,"
Lucu, Halilintar bahkan tidak pernah memanggil dua Fusion nya yang lain dengan nama mereka sejelas itu. Tapi sekarang dia mengatakannya dengan ringan.
Bukan afeksi. Itu jelas. Halilintar tahu dia memanggil anak yang sudah diambang pintu itu hanya untuk sekedar formalitas.
"Lebih baik kau pergi secepatnya."
Halilintar tidak berbalik, namun dia tahu apa yang dia katakan pasti mengusik anak itu lebih dari apa yang adik-adiknya lakukan untuk memaksa nya kemari.
Permukaan hitam di cangkirnya sedikit bergetar, Halilintar tahu anak itu sedang menahan emosi yang bergejolak.
"Aku tahu itu." dan pintu tertutup.
Halilintar menghela nafas, anak itu bahkan lupa mencuci cangkir tehnya sendiri.
Nunggu update buku sebelah ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories By Moss.
RandomWelcome to this Book. Kumpulan karya tulis berbagai jenis tulisan mulai dari oneshot hingga cerbung yang berisi ide-ide cerita Moss yang absurd nan Gila. Di isi berbagai Genre dari yang ringan hingga berat, comedy hingga Angst. Dengan karakter origi...