Bab 21: Salah Paham

54 2 0
                                    

"Kondisi Anda semakin memburuk, kita bisa mencoba beberapa alternatif lain jika—" ucapan dokter Daniel terhenti kala Lucy menggeleng dengan cepat.

"Jika anda bisa menjamin kesembuhan untukku setelah mengikuti saran dari Anda, maka aku akan bersedia." sela Lucy dengan nada rendah.

Meski nafasnya terdengar sedikit tercekat tapi menahan diri adalah keahliannya.

Dokter Daniel terdiam, untuk kondisi Lucy yang semakin memburuk dia memang tidak bisa menjamin tapi dia akan berusaha hingga titik darah penghabisan andai Lucy menyetujui pengobatan lanjutan.

Dan pada akhirnya Lucy akan meninggalkan rumah sakit seperti sebelumnya dengan membawa berbagai persediaan obat-obatan, daripada mengikuti pengobatan panjang yang bahkan tidak dapat di jamin maka lebih baik baginya mengisi sisa hidupnya dengan hal berharga.

Setidaknya ada kebaikan yang akan di kenang orang ketika waktunya di dunia ini selesai.

Lucy menyetir sendiri menuju kantornya, bahkan di saat sendiri seperti ini pun dia enggan untuk menangis.

Dia tak ingin menunjukkan sisi lemahnya kepada dirinya sendiri, tidak ada orang lain selain dirinya sendiri yang harus kuat dan melewati kesakitan ini.

Jika ia harus menangisi keadaanya, lantas siapa yang akan menghiburnya?; Siapa yang akan menguatkannya?.

Maka jangankan menunjukkan kepada orang lain apa yang ia rasakan, kepada dirinya sendiri saja Lucy menjadi enggan.

...

"Selamat pagi, sayang." Andrew terlihat sangat pucat pagi itu, namun dia memilih tetap tersenyum kepada Samantha yang baru saja turun dari mobil.

Samantha menghiraukannya, dia berlalu melewati pria itu. Dengan langkah lebar Andrew mengejarnya dan berhasil mencegat pergelangan tangan Samantha.

"Tolong jelaskan mengapa kau marah?" tanya Andrew tanpa rasa bersalah.

Samantha menggigit bibir karena perasaan marah yang bergemuruh hebat di dalam hatinya. Bisa-bisanya pria itu tidak merasa salah sedikitpun.

"Lepaskan bajingan!" desis Samantha dengan tatapan membunuh.

"Bisakah kau mengatakan apa yang salah?" Andrew kembali bertanya. Saat itu Samantha mengepalkan tangannya yang mulai berkeringat dingin.

"Baik, aku salah tidak membalas pesanmu. Kemarin kondisiku sedikit buruk." lanjut Andrew seakan Samantha tidak mengetahui jika pria itu pergi bersama Femmi.

"Oh shit! Mengapa aku harus bertahan pada bajingan sepertimu, huh!" umpat Samantha dengan nada meninggi.

Ini kali pertama Andrew mendengar wanita itu mengumpat padanya, tanpa ia tahu kesalahan apa hingga Samantha begitu marah.

"Mengapa kau marah hanya karena itu?" tanya Andrew dengan tatapan bingung.

"Plak!!!" Samantha menatapnya dengan berang. Dia tidak habis pikir dengan sikap Andrew.

"Sam—"

"Plak!!!" belum sempat mengatakan apapun, Samantha kembali menampar pipi Andrew yang lain.

"Apa yang kau lakukan?!" gumam Andrew dengan suara berat, kali ini wajahnya dingin dan gelap.

"Apa yang kulakukan? Itu tidak cukup untuk membayar kelakuanmu yang menjijikkan," balas Samantha tak kalah dingin.

"Aku bertanya apa yang kau lakukan SAMANTHA!!!" teriak Andrew menggelegar, syukurnya saat itu basemen masih sangat sepi.

Nafasnya tersengal berat serta wajahnya yang pucat kini memerah karena di lingkupi amarah.

Samantha membatu selama beberapa detik, tampak matanya berkaca-kaca setelah di bentak oleh Andrew. Tapi mengapa pria itu yang marah?

"Kau ada pembelaan lain?" lirih Samantha sambil menunjukkan layar ponselnya. Andrew mengernyit dalam ketika melihat foto dirinya yang berdiri di pesisir pantai.

"Kau mendapatkan ini dari mana?" tanyanya menelisik wajah Samantha yang penuh kekecewaan.

"Mulai hari ini kita jalan masing-masing," balas Samantha menahan tangis.

"Sayang—"

"Femmi. Jika itu yang ingin kau tahu." setelahnya Samantha menghentakkan tangannya dan pergi dari sana dengan berlinang air mata.

...

Femmi terlonjak kaget ketika pintu ruangannya terbuka dengan kasar. Andrew mendekat dengan langkah lebar, tangannya secepat kilat sudah berada di leher Femmi yang mulus lalu mencekiknya kuat.

"Tindakanmu sudah terlalu jauh, bitch!" desisnya dengan penuh kemarahan.

Dia tidak peduli ketika wanita itu kehilangan pasokan oksigen di dalam paru-parunya. Tak ada satu katapun yang mampu keluar dari mulut Femmi.

"Aku sudah memperingatimu, sialan!" teriak Andrew dengan wajah yang merah padam.

Suara ketukan di pintu membuat Andrew terpaksa melepas wanita itu. Femmi terbatuk dengan nafas terengah, tubuhnya yang luruh di lantai seperti tak bertenaga.

Kembali terdengar suara ketukan dari luar dan setelah berhasil menghirup udara sebanyak mungkin, Femmi mempersilahkan seseorang di luar yang hendak mengantar dokumen.

Andrew sendiri masih berdiri di tengah ruangan tanpa sedikitpun rasa bersalah. Dia kembali mendekati Femmi setelah hanya mereka berdua di ruangan itu.

"Berapa kau di bayar Joel?" tanya Andrew dengan tatapan menghina yang membuat Femmi semakin sakit hati.

"Dia tidak memiliki urusan dalam hal ini," jawabnya datar.

"Lalu apa tujuanmu?" jika saja Andrew tidak bisa mengontrol diri, ia yakin sudah membunuh Femmi dalam sekejap.

"Aku hanya ingin membuktikan kesungguhanku padamu," jawabnya dengan lantang.

"Kau sungguh tidak memiliki urat malu?" Andrew tidak habis pikir bagaimana wanita itu masih mengejarnya setelah ratusan kali di tolak.

"Kau semakin menolakku, maka aku akan semakin menunjukkan padamu sebesar apa rasa ini, Andrew." ucapan Femmi sungguh berhasil membuat Andrew merasa mual.

Wanita di hadapannya memang gila dan memuakkan.

Harus bagaimana lagi mengatakan kepada Femmi jika dia tidak memiliki perasaan apapun pada wanita itu?

"Kau benar-benar membuatku makin muak, Fem." desis Andrew sebelum meninggalkan ruangan itu.

Entah bagaimana lagi kali ini Andrew menjelaskan kepada Samantha, sudah hampir satu jam dia hanya mondar-mandir sambil menyugar rambutnya frustasi.

Semua terasa salah, dia telah membentak Samantha sementara wanita itu tidak salah; sedangkan tidak mungkin baginya untuk menjelaskan kepada Samantha perihal dirinya yang berada di pantai, jelas itu hanya akan membuat masalah semakin rumit.

"Oh F*ck!" dia menendang udara karena terlalu kalut.

Rasa sakitnya seakan menguap begitu saja, urusannya dengan Samantha jauh lebih sulit untuk ia tanggung.

Sementara itu Samantha masih sibuk menutupi bagian matanya yang bengkak dengan make up, tiga puluh menit lagi dia harus mengikuti rapat. Dia tidak mungkin tampil dengan mata bengkak dan wajah yang kusam.

Ini sudah ketiga kalinya Samantha mengulangi riasan wajahnya, dan sialnya air mata itu jatuh begitu saja merusak tampilannya yang dengan susah payah ia lakukan.

Samantha menyesal akan apa yang sudah ia katakan di basemen, dia telah memutuskan hubungan mereka secara sepihak.

Meski di sudut hatinya yang lain ada rasa puas karena bisa bertindak tegas namun pada akhirnya dia tetap mrnyesal dan menyalahkan dirinya.

Dia mencintai pria itu, seharusnya Andrew mengejarnya dan mengatakan jika semua itu tidak benar; seharusnya pria itu memohon pada hubungan mereka, tapi nyatanya Andrew tidak melakukan apapun.

Mungkinkah memang pria itu juga menginginkan perpisahan ini?

Hai guys, tolong di vote juga y. Di koreksi jika ada typo 🧡

The Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang