Bab 31: Kebohongan

51 3 0
                                    

Theresia menggegam tangan Andrew yang terasa dingin. Dia tak kuasa menahan tangis melihat tubuh Andrew yang terbaring lemah.

Satu jam lalu ia mendapati Andrew tak sadarkan diri di sofa ruang tamu, Theresia terlihat panik dan langsung menghubungi dokter yang biasa menangani Andrew.

Entah hal apa yang membuat anak lelakinya itu masih tetap kuat dan bertahan dalam rasa sakit yang menyerangnya.

Jauh lebih sakit bagi Theresia melihat Andrew mencoba untuk tetap bertahan ketimbang mengiklaskan segala kemungkinan yang terjadi. Dia telah mempersiapkan dirinya jika sewaktu-waktu Andrew harus mengakhiri rasa sakit itu.

“Maafkan mommy.” bisiknya tercekat.

“Andaikan bisa, mommy akan menggantikan posisimu,” … “bagaimana mungkin mommy tetap menjalani hidup sementara kau berjuang melawan maut?”

Theresia terisak kecil. Hatinya sungguh bagai ditusuk ribuan jarum, dia begitu hancur setiap kali melihat Andrew berjuang melawan penyakit mematikan ini.

Beribu kali Theresia berdoa kepada Tuhan, memohon hal apa yang harus ia lakukan untuk membebaskan Andrew dari penderitaan itu. Tak terhitung berapa kali ia memohon ampun untuk apapun dosa masa lalu yang pernah ia lakukan.

“Mom,” terdengar suara Andrew yang lemah memanggilnya.

Segera Theresia medongak menatap Andrew yang sudah sadarkan diri. Dia hanya tersenyum, pelupuk matanya masih terlihat basah dan sembab.

“Mengapa mommy menangis?” Andrew sedikit menggerakkan telapak tangannya mengelus tangan Theresia yang terasa hangat.

Theresia menggeleng, walau bibirnya tampak tersenyum namun tidak dengan sorot matanya yang penuh kesedihan.

“Mom, aku masih kuat.” ujar Andrew mencoba menguatkan Theresia dan dirinya sendiri.

Sudah berulang kali dia berada pada ambang kematian dan itu ketakutan luar biasa yang tidak mampu ia bayangkan.

Dia harus menangis diam-diam agar tidak membuat Theresia khawatir; dia juga akan berusaha menyembunyikan rasa sakitnya demi mengurangi beban Theresia.

Andrew sudah pasrah pada takdirnya, dalam doanya dia hanya berharap Tuhan mengakhiri ini lebih cepat.

Rasa sakit setiap kali kepalanya berdenyut hebat, tubuhnya yang semakin lemah, ingatannya juga mulai menurun, penglihatannya yang perlahan memudar bahkan beberapa kali dia di temukan tak sadarkan diri. Semua itu membuatnya menyerah.

“Mom, bolehkah kita ke suatu tempat?” tanya Andrew yang kini duduk di kepala tempat tidur.

Ini permintaan pertama semenjak Andrew menetap bersama Theresia. Selama ini dia selalu mengatakan tidak memiliki keinginan apapun selain berada di sisi Theresia hingga akhir hayatnya.

Mendengar permintaan itu tentu saja Theresia merasa senang, dia mengangguk antusias.

“Tentu saja, kita bisa pergi ke mana saja yang kau mau.” jawabnya penuh haru.

***

Di salah satu sudut kota New York. Sebuah rumah yang tak kalah megah menjulang tinggi di antara beberapa rumah mewah lainnya di sana.

Parkinson menatap kembali wajah wanita yang tak lain Samantha di layar ponselnya. Seharusnya Dia tidak terkejut ketika mengetahui jika Samantha mencoba mencari orang yang telah membocorkan data perusahaan.

Samantha bukanlah lawan yang sepadan untuknya, namun entah bagaimana Parkinson tetap saja merasa kesulitan untuk membalas dendam kepada Cliff jika Samantha berada di pihak bajingan itu.

Wanita itu memiliki aura kuat yang menarik lawan jenis—lebih tepatnya ada sesuatu yang membuat orang lain merasa tidak tega untuk menyakitinya.

Tiba-tiba dia berpikir haruskah ia membuat Samantha meninggalkan keluarga Rockefeller?

...

Selesai membersihkan diri Samantha teringat untuk memeriksa data karyawan yang dikirim Hendrik. Matanya menelisik satu persatu nama yang menjabat posisi kepala divisi dan juga manajer, tapi mengapa ia tidak menemukan nama Andrew Morris di manapun?

Dia kembali memastikan data ini hasil pembaharuan terbaru. Samantha mengernyit, dia yakin Andrew dimutasi ke Las Vegas, hal apa yang tidak diketahui olehnya?

Hingga keesokan harinya, Samantha masih sangat penasaran akan keberadaan Andrew. Ini hari terakhirnya di Las Vegas. Setidaknya sekali saja dia ingin melihat wajah pria itu.

“Nona, membutuhkan sesuatu?” tanya Hendrik yang kini sudah berada di ruangan Samantha.

Wanita itu berpikir sejenak, dia bingung harus memulai dari mana. Mungkin hal yang wajar jika ia meminta data karyawan, tapi ada rasa tidak nyaman ketika harus menanyakan tentang Andrew.

“Em—bukankah seharusnya manajer pemasaran dijabat oleh Andrew Morris?” Tanyanya dengan nada rendah.

Hendrik tampak mengernyit, dia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya.

“Maaf nona, kita belum ada pergantian manajer pemasaran selama dua tahun terakhir.” jawab Hendrik dengan yakin.

Saat itu juga perasaan Samantha diliputi amarah. Apa yang telah di lakukan oleh orang-orang di sekitarnya? Siapa yang memiliki peran besar dalam kebohongan ini?

Setelah beberapa bulan akhirnya dia memberanikan diri untuk menghubungi Andrew, namun Samantha hanya mendapat jawaban dari operator. Dia mencobanya berulang kali tapi hasilnya tetap sama.

...

Tak menunggu hingga hari berikutnya, sore itu juga Samantha minta untuk kembali ke New York.

Dengan tubuh lelah, matanya bahkan belum ada terpejam selama hampir 24 jam. Orang pertama yang ia cari adalah Cliff.

Meski sudah dilarang oleh Shinta, tapi Samantha tetap menerobos masuk ke dalam ruangan Cliff. Alhasil dia harus menahan malu ketika ia mendapati Cliff bersama dua lelaki lain yang sepertinya merupakan rekan bisnis Cliff.

“Ada apa sayang?” Cliff mengernyit melihat kehadiran Samantha yang tiba-tiba, bukankah wanita itu seharusnya besok sore baru tiba di New York?

“Aku akan menunggu di luar.” sahutnya mengedikkan bahu, kemudian Samantha kembali menutup pintu di belakangnya.

“Kau memiliki berlian dalam wujud anak gadismu, tuan Rockefeller.” ujar salah seorang rekan bisnisnya.

Banyak dari rekan bisnisnya yang berusaha menjodohkan Samantha dengan anak mereka. Namun hingga sejauh ini Cliff tidak ikut campur dalam urusan asmara Samantha bahkan Nick sekalipun.

Tak ingin membuat dirinya terus dalam rasa penasaran, Samantha bergegas mencari Shane. Beberapa karyawan meliriknya sinis, tampilannya tampak kacau dan sedikit kusam dengan rambut yang dicepol asal. Tapi tetap saja kecantikan Samantha tidak memudar.

Shane sedikit kaget ketika Samantha tiba-tiba masuk tanpa mengetuk.

“Di mana Andrew?” tanya Samantha langsung pada inti pembicaraan.

“Kau tampak terkejut, artinya kau tahu di mana bajingan itu.” bisiknya menelisik wajah Shane.

Namun jawaban dari Shane membuat Samantha ragu, pria itu menggeleng kecil dengan tatapan yang sulit diartikan

“Aku tidak tahu, Sam.” jawabnya. Namun Samantha tahu ada keraguan di sana.

“Jadi kau juga bersekongkol untuk membohongiku?” terdengar nafasnya yang berat.

“Kau hanya perlu mengatakan jika bajingan itu memiliki wanita lain atau kau hanya perlu mengatakan padaku jika dia memang tidak mencintaiku. Kau tidak harus berbohong.” lanjutnya dengan nada kecewa.

Shane tidak memiliki jawaban apapun. Dia sendiri tidak dapat menahan desakan kepedihan yang memuncak dalam hatinya. Tapi bagaimanapun dia sudah berjanji kepada Andrew untuk tetap tutup mulut.

“Tetaplah diam seakan kau tidak tahu apapun, meski suatu hari kau mendengar kabar kepergianku.”

Dan kala itu Shane mengangguk pada Andrew.

The Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang