Bab 7: Deja vu

80 5 0
                                        

Di jam istrahat Samantha naik ke ruangan daddynya, selain demi menghindari Andrew dia juga perlu mengobrol dengan Cliff.

Shinta yang juga berada di sana langsung undur diri ketika Samantha masuk.

Hai Sweet girl. Tumben kau naik,  ada masalah?” tanya Cliff yang mencoba berhenti sejenak dari pekerjaannya.

Samantha melemparkan bokongnya di sofa empuk yang berada di tengah ruangan.

“Dad, apakah daddy terlalu sibuk?” tanya Samantha dengan raut wajah sedih.

“Ya, kau bahkan bisa melihatnya,” jawab Cliff … “kau membutuhkan sesuatu?” tanya Cliff lagi.

Samantha  menggeleng. Selama tinggal bersama keluarga Rockefeller tidak pernah sekalipun Samantha meminta apapun dari Cliff, apa yang ia peroleh sudah sangat lebih dari cukup.

“Bisakah daddy pulang lebih sering? Akhir-akhir ini mommy sering terlihat sakit” ujar Samantha dengan nada penuh harap.

Cliff terdiam dengan rahang mengetat.

“Apa mommy yang memintamu untuk mengatakan hal itu?”

Samantha dengan cepat membantah, “Tidak—sama sekali mommy tidak memintaku melakukannya.” … “Aku hanya berpikir ingin melakukan sesuatu yang mungkin berguna sebagai anak,” balas Samantha menatap Cliff dengan raut sedih.

“Daddy tidak berjanji namun kalau ada waktu daddy akan ke sana,” ucap Cliff pada akhirnya.

Walau tidak bisa di janjikan tapi Samantha berpikir masih ada harapan daddynya akan pulang ke rumah.

“Kau mau menemani daddy makan siang?” tanya Cliff.

Di rooftop perusahaan terdapat restoran yang biasanya khusus para direktur, komisaris dan CEO. Dan di sinilah Samantha bersama daddynya menikmati makan siang.

“Sayang, aku minta maaf.” Andrew berusaha menghalangi Samantha yang hendak masuk ke dalam mobil.

“An, aku sedang malas membahas itu. Biarkan aku sendiri terlebih dahulu,” balas Samantha dengan wajah lelah.

“Sayang …” terdengar suara Andrew yang memelas.

“Kalau kau ingin ku maafkan maka biarkan aku sendiri. Aku sungguh hanya ingin sendiri, An.”

Samantha sepertinya memang butuh waktu untuk memikirkan hubungannya dengan Andrew.

“Andrew, kau meninggalkan hal penting.”

Keduanya menoleh ke sumber suara, ternyata itu Femmi yang berjalan mendekat sambil menunjukkan amplop coklat berisi dokumen ke arah Andrew.

Kesempatan itu di ambil oleh Samantha untuk masuk ke dalam mobil, dalam sekejap dia memacu mobilnya yang membuat Andrew dan Femmi kaget.

Tanpa pikir panjang Andrew ikut masuk ke dalam mobilnya dan mengabaikan Femmi.

Dia mengejar Samantha yang melaju dengan kecepatan tinggi. Alhasil keduanya terlibat kejar-kejaran. Dan seperti deja vu ketika terdengar bunyi klakson dari arah lain.

Andrew melihat dengan jelas bagaimana Samantha dengan secepat kilat menghindari mobil lain yang datang dari arah samping. Suara decitan ban mobil membuat sejumlah orang merasa ngilu.

Deru nafas Samantha terdengar memburu. Perlahan kepalanya terangkat dan melihat sekitarnya. Andai saja dia tidak pintar menghindar sudah pasti nyawanya yang jadi taruhan. Dia melihat kebelakang dan mobil Andrew berhenti hanya berjarak beberapa meter dari mobilnya.

Meski tangannya masih terasa dingin dan bergetar, Samantha kembali menghidupkan mobilnya dan meninggalkan jalan itu. Setelah lumayan jauh dia tidak lagi melihat mobil andrew mengikutinya.

Sementara tak beda jauh dari Andrew. Begitu mendengar bunyi klakson panjang, pria itu langsung gemetar dan mengerem mobilnya mendadak. Dengan satu tangan Andrew meraih kepalanya yang berdentum hebat, tangannya yang lain mencengkram kuat setir mobil.

Andrew membuka matanya perlahan, dia sungguh merasa tidak memiliki ruang dalam dadanya. Sekitarnya mendadak hening dan berbayang. Dia menyenderkan punggungnya sambil memejam mata.

Setelah beberapa menit dia sudah kembali pada kesadarannya, matanya tidak menemukan keberadaan mobil Samantha di sana. Sekitarnya semua telah berjalan normal seperti tidak terjadi apa-apa.

Sebelum kembali melaju, Andrew meraih obat yang berada di dashboard mobil lalu menenggaknya.

Samantha tiba di rumah. Dia hampir tidak percaya karena ternyata di sana ada Cliff dan Lucy di ruang makan menunggu kedatangannya.

“Mom, Dad.” Dia memeluk Cliff dan Lucy bergantian.

Akhirnya setelah sekian lama, rumah itu kembali mendapat penghuni. Udara sedikit terasa hangat meski semua terasa canggung.

Selesai makan malam Samantha juga cepat-cepat naik, dia hanya ingin memberi ruang bagi dua orang dewasa di hadapannya.

“Apa kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri? Jangan selalu merepotkan orang lain,” ujar Cliff ketika Samantha sudah tidak terlihat di sana.

Lucy tampak seperti menimang jawaban apa yang harus ia berikan.

“Aku tidak pernah merepotkanmu,” balas Lucy dingin. Dia tidak tahu karena apa Cliff datang malam ini dan ikut serta makan malam.

“Aku tidak mengatakan kau merepotkanku. Tapi kau selalu merepotkan orang lain di sekitarmu!”

“Kau seharusnya sadar jika aku yang selalu repot membereskan semua kekacauan yang kau lakukan,” balas Lucy dengan tatapan dingin.

“Kau sendiri yang ingin melakukannya,” sahut Cliff tak kalah dingin.

Lucy tersenyum pahit menatap ke arah lain. Selama bertahun-tahun dia tidak berharap Cliff menjadi suami yang baik, namun setidaknya pria itu berusaha menjadi daddy yang baik.

Mungkin secara materi Cliff melimpahkan segalanya untuk Nick, tapi tidak dengan kasih sayang dan perhatian.

“Mengapa kau datang?” … “Aku pikir kau lupa jika masih memiliki rumah,” ucap Lucy mengabaikan perdebatan mereka sebelumnya.

“Hanya untuk memastikan kau hidup. Setidaknya aku memiliki jawaban ketika media bertanya,” jawab Cliff dengan begitu kejam.

Selama bertahun-tahun keduanya telah berhasil membuat semua orang tertipu akan keadaan rumah tangga mereka. Tentu saja keduanya memiliki peran sempurna untuk itu.

Agar tidak terendus media jika selama ini Cliff sebenarnya tidak tinggal di rumah, maka salah satu supir pribadinya akan membawa mobil milik Cliff setiap pagi berangkat ke kantor lalu kembali lagi di malam hari. Hanya biar seolah-olah media berpikir jika itu Cliff, nyatanya di dalam mobil hanya ada sang sopir.

Sementara itu Cliff memiliki mobil lain yang ia gunakan untuk berangkat dari kondominium menuju kantor setiap hari.

Malam ini Cliff memang tidur di rumah, tapi memilih beda kamar dengan Lucy.

Lucy semakin merapatkan bathrobe yang masih melekat di tubuhnya. Angin malam yang menusuk kulit masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Ingatannya kembali terlempar pada awal mula dia harus terjebak dalam pernikahan bersama Cliff.

“Carol, kau harus memikirkan kembali keputusanmu. Kalian akan segera menikah,” ujar Evan kala itu.

“Aku tidak akan mungkin bersamanya seumur hidup. Dia hanya terobsesi denganku, Evan.” sahut Carol dengan nada bergetar.

“Meskipun kalian tak bersama, dia akan mencari segala cara untuk menyakitimu.”

“Evan, kau ingin pergi bersama?” tanya Caroline dengan tatapan penuh harap.

“Carol, kau tidak bersungguh-sungguh bukan?” Evan masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Caroline.

Tapi tatapan Caroline sudah menjawab pertanyaan Evan. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi keputusan wanita itu.

The Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang