Bab 29: Melepas Rindu

52 3 0
                                    

Andrew duduk dekat jendela sambil memandangi taman kecil di depan rumah. Dia menoleh ketika Theresia menyampirkan syal di lehernya,

“angin sore semakin dingin, jangan biarkan dirimu membeku,” bisik Theresia tersenyum.

Andrew menghela nafas, sebelum membalas senyum Theresia.

“Mom, ini belum apa-apa.” sahutnya lemah.

Theresia mengelus pipi Andrew yang tampak semakin tirus. Ada perasaan sesak setiap kali menatap Andrew. Meski begitu Theresia selalu berusaha terlihat tegar, seperti saat ini. Ia menggigit bibirnya hingga terluka untuk menahan dirinya agar tidak menangis.

Hatinya hancur luluh-lantak ketika empat bulan lalu Andrew muncul di ambang pintu tanpa memberi tahu kabar kepulangannya.

Hal pertama yang disodorkan Andrew saat itu hanya selembar kertas putih yang mampu membuat Theresia meraung dalam tangis, dunianya runtuh seketika, tapi sebagai seorang ibu hal yang ia lakukan kemudian memeluk tubuh Andrew yang diam membisu.

Mereka berpelukan tanpa kata, hanya suara sesenggukan yang mengisi kesunyian di antara mereka. Baik Andrew maupun Theresia menangis pilu di tengah ruang tamu.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Theresia, sekalipun dia merelakan hidupnya untuk menggantikan nyawa Andrew.

Menurut hasil pemeriksaan, kanker otak stadium empat yang menyerang Andrew sudah sangat dalam menggerogoti seluruh sarafnya. Penyebabnya karena benturan dan trauma masa lalu—tentu saja hal itu berasal dari kecelakaan sebelumnya.

Selama ini Andrew hanya meminum obat sakit kepala biasa tanpa melakukan pemeriksaan lanjutan.

Kini sudah memasuki bulan keempat sejak ia menetap kembali di Newburgh. Tak dapat terbayangkan setiap rasa sakit yang Andrew lewati. Kondisinya semakin hari semakin memburuk.

Dan selama itu Theresia berada di sisinya. Berbagi rasa takut, rasa sakit dan tentu saling menguatkan.

Kota itu semakin menakutkan bagi Andrew. Sepuluh tahun meninggalkan tempat ini dengan harapan ia dapat berdamai dengan takdir, namun justru dia kembali lagi di tempat ini untuk menyerahkan diri pada takdirnya.

“Selama ini mommy pasti kesepian berada di sini seorang diri,” ucap Andrew.

Empat bulan cukup membuatnya menyesal karena selama bertahun-tahun tidak pernah mengunjungi Theresia, meski terkadang wanita itu bersama Olivia yang  mengunjunginya ke New York setiap akhir tahun.

‘Itu belum seberapa dibanding dengan di tinggal untuk selamanya’ batin Theresia dengan senyum pedih yang terukir di bibirnya.

“Kau pasti jauh lebih kesepian,” Theresia berhenti sejenak.

“Mommy selalu merasa bersalah karena tidak bisa berada di sisimu. Kau berjuang seorang diri melawan setiap rasa sakitmu,” lirih wanita itu tercekat.

“Itu semua bukan salah mommy. Aku bahkan bersyukur karena mommy tidak pernah menuntut lebih selama ini. Aku bahagia karena masih tetap menjadi anak mommy setelah semua kekacauan yang aku lakukan.” Balas Andrew serak.

Mungkin benar, sepuluh tahun hatinya terasa hampa dan mati. Dia juga kesepian di sepanjang malamnya, seakan waktu terlalu lama berjalan. Namun dari semua itu Andrew lah yang sering merasa bersalah kepada Theresia.

Ada kalanya dia ingin berlari dalam pelukan wanita itu, mencari kehangatan dan kekuatan seperti saat dulu dia masih kecil.

“sampai kapanpun kau akan tetap menjadi anak mommy. Bahkan jika kelak kau muncul dalam wujud apapun tidak akan mengubah kenyataan bahwa kau anak mommy.”

“An, terima kasih sudah menjadi anak mommy. Terima kasih karena kau tetap memilih mommy sebagai tempatmu untuk pulang.”

Tampak mata Theresia yang berkaca-kaca, segera ia mengedipkan mata untuk menghalau air mata itu.

Selama ini Theresia selalu diliputi rasa bersalah. Dia merasa gagal menjadi ibu bagi Andrew, setiap saat ada rindu untuk Andrew, ada harapan semoga kelak ia masih bisa melihat kembali senyum bahagia di bibir anak lelakinya.

Dan  sekarang dia sering melihat senyum di bibir Andrew, namun sayangnya itu senyum kepahitan untuk menutupi segala rasa sakitnya.

...

“Bagaimana dengan wanita itu?” tiba-tiba Theresia menanyakan perihal Samantha.

“Aku harap hidupnya jauh lebih baik,” balas Andrew sembari menghela nafas.

“Kau tidak merindukannya?”

Theresia tahu jika Andrew setiap hari menatap foto Samantha—Ya, walau dia ragu apakah itu Samantha atau Elissa.

“Aku telah menyakitinya, mom.” ujarnya tercekat.

Dan pada akhirnya Andrew seakan mengakui segala kesalahannya selama ini kepada Samantha.

“Aku telah mengabaikan perasaannya selama ini. Setiap hari aku membuatnya sedih dan marah, tak jarang aku bersikap egois.” lanjutnya bergetar.

“Bukankah dia layak mendapat yang lebih baik dariku?”

“Apa yang telah aku lakukan padanya sungguh tak ada yang layak untuk ia kenang. Meski sekarang aku merindukannya, tapi aku tidak layak, Mom.” Ada rasa sesak memenuhi dada Andrew.

Dan lagi seperti biasa, dia tidak akan menunjukkan kelemahannya kepada Theresia. Dia sudah merasa terlalu banyak membuat wanita itu khawatir.

“Kau sudah menyesalinya, mommy harap kelak dia akan mengerti dan memaafkanmu,” ujar Theresia menggenggam tangan Andrew.

Keduanya lalu diam menatap hamparan bunga. Saat itu langit juga sudah mulai gelap.

Seperti inilah yang akan mereka lakukan setiap hari, menghabiskan waktu berdua untuk membalas dendam pada waktu dan juga merangkai kenangan yang akan diingat oleh Theresia kelak bila ia merindukan Andrew.

...

Tiba-tiba pintu terbuka dan keduanya menoleh. Olivia langsung berlari memeluk tubuh Andrew. Wanita itu sontak menangis histeris saat melihat tubuh Andrew yang ringkih. Tak berhenti wanita itu meminta maaf karena baru sekarang bisa bertemu dengan Andrew.

Olivia merupakan adik perempuan Andrew. Dia baru saja menikah awal tahun ini dengan seorang tentara. Mengikuti suami yang sedang bertugas baru sekaranglah Olivia bisa pulang ke Newburgh.

“Kau begitu kurus,” lirihnya disertai air mata yang membanjiri pipinya. Dengan tangan bergetar, Olivia mengelus wajah Andrew, seakan tak percaya dengan apa yang ia lihat. Olivia kembali terisak.

“Kau terlihat jelek saat menangis,” ledek Andrew. Dia berusaha agar terlihat kuat di depan Olivia.

Andrew sangat mengenal Olivia sebagai adik yang manja namun terkadang menggemaskan.

“Oh Tuhan, jangan mengajakku bercanda.” celetuk Olivia masih berurai air mata.

“Aku terlalu merindukanmu, tapi aku tetap menahannya dengan harapan kau selalu bahagia. Tapi sekarang mengapa seperti ini?” suara wanita itu serak.

Olivia tak bisa menyembunyikan kesedihannya, bahkan Theresia ikut berkaca-kaca melihat kedua anaknya yang saling melepaskan kerinduan.

Andrew tersenyum ke arah Olivia.

“Aku senang kau telah menjadi dewasa. Kau juga telah bekerja keras menjaga mommy, kau telah menjadi kuat dan semoga seterusnya kau tetap seperti itu.”

“Aku sangat merindukan kalian setiap hari,” bisik Andrew menahan rasa perih di matanya.

Semakin bertambah rasa sakit di dalam hati Andrew ketika melihat Olivia. Dia telah memberi wanita itu tanggung jawab yang besar selama ini. Sementara dia hanya sibuk dengan lukanya sendiri, meski begitu mereka tetap berada disisinya di saat seperti ini.

Bagaimana lagi dia akan membahagiakan dua wanita itu? Sementara kini tubuhnya melemah dan waktu tak lagi banyak.

The Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang