"Mommy akan menunggu di mobil." bisik Theresia mengelus pundak Andrew yang duduk di kursi roda.
Andrew meletakkan bouquet bunga Lily yang dipadukan mawar merah di atas makam Elissa. Sejenak dia melihat sekitar yang tampak bersih dan terawat. Dia yakin orang tua Elissa lebih sering berkunjung di tempat ini.
Selama beberapa detik, Andrew hanya memejamkan mata. Lalu ketika akhirnya dia berhasil menenangkan diri, terukir senyum kecil di bibirnya.
Terakhir kali dia datang ke sini mungkin sehari sebelum memutuskan pindah ke kota New York. Selama ini Andrew tidak memiliki keberanian untuk datang, namun khusus hari ini dia telah mengumpulkan kekuatan besar agar bisa mampir sebentar hanya untuk sekedar menyapa.
"Elis ..." menyebut nama wanita itu saja seakan Andrew tak mampu.
Banyak hal yang ia sesali saat ini. Elissa tentu saja masih menjadi wanita pertama yang menguasai hatinya, tapi lambat laun ia menyadari jika Samantha juga memiliki peran penting dalam hidupnya.
"Maaf karena tanpa sadar aku telah berpaling dari cinta kita. Aku terlalu salah karena berpikir dapat hidup bahagia setelah apa yang kulakukan di masa lalu—walau aku berharap bisa tetap melanjutkan hidup dalam kebahagiaan." Andrew tersenyum ketus akan keegoisannya itu.
"Tapi lihat, alam telah menghukumku atas keserakahan itu. Sekarang aku bingung jawaban apa yang akan kuberi ketika bertemu denganmu?" matanya seketika terasa perih dengan nafas tersengal.
“Aku akan menjadi yang paling bahagia karena pada akhirnya bisa bertemu denganmu dalam keabadian, tapi-aku sedikit merindukannya.” lirihnya bergetar sambil mengepalkan tangan.
Dia berbicara seakan Elissa dapat mendengar semua isi hatinya.
“Aku bersalah—aku merindukan wanita itu.” lanjutnya dengan suara serak, Andrew menunduk ketika air matanya jatuh begitu saja.
"Aku sangat ingin melihatnya walau dari jauh ... untuk terakhir kalinya."
"Tapi Elis, bukankah keinginanku itu akan membuatnya jatuh dalam kehancuran tanpa akhir? Maka aku sedikit menyimpan tentangnya di sini." bisik Andrew penuh kepiluan sambil menyentuh dadanya, bayangan Samantha memenuhi kepalanya yang berdenyut.
"Aku ingin mengenang sedikit tentangnya dan aku harap kau mengerti itu." tubuhnya terlihat bergetar karena menangis tanpa suara.
Andrew sungguh begitu merindukan Samantha, walau sepanjang hari ia telah menatap foto Samantha tanpa berkedip itu tidak akan pernah cukup baginya.
Sekarang ia menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu berharganya selama ini, rasa rindunya lebih menyakitkan dari pada penyakit itu.
"Kita akan segera bertemu." bisiknya. Andrew sekali lagi menatap batu nisan di sana bertuliskan,
Elissa-14 Februari 2013.
Dia memutar kursi rodanya menuju mobil yang berada di pinggir jalan, Theresia telah berdiri bersender pada pintu mobil sambil memperhatikan Andrew yang mulai mendekat.
"Ayo, kita ke sana." unjuk Theresia pada hamparan bunga yang bermekaran.
Keduanya mulai menikmati angin sore sambil menatap matahari yang perlahan tenggelam.
"Mom," panggil Andrew melirih Theresia yang berdiri di sisinya. Wanita itu bergumam sambil meraih telapak tangan Andrew.
"Berjanjilah akan selalu hidup bahagia. Mommy bisa melakukan perjalanan jauh untuk menghabiskan masa tua," ujarnya.
Pria itu terlihat tersenyum hangat ke arah Theresia.
"Hm," Theresia hanya berani menggumam. Matanya menatap lurus ujung langit yang berwarna jingga.
"Panjang umur dan sesekali kunjungi aku bila ada waktu," ucap Andrew tak ingin jika Theresia kelak melupakannya terlalu cepat.
"Sangat indah, tapi sayang sekali terlalu cepat berlalu." ujar Theresia menatap matahari yang perlahan mulai tenggelam. Tapi ini bukan tentang senja.
Theresia tak ingin menjanjikan apapun kepada Andrew. Terlebih untuk tidak bersedih nantinya, karena hal yang paling menyakitkan bagi seorang ibu adalah ketika melihat anaknya meninggalkan dunia ini, sementara dia masih harus melanjutkan hidup dan bersikap seakan dunianya baik-baik saja.
"An, kau adalah anugrah besar yang mommy miliki. Entah itu buruk atau baik kelakuanmu, kau tetap malaikat kecil yang pernah membuat mommy benar-benar merasa kuat dan hidup." mata Theresia tampak berkaca-kaca, dia memalingkan wajah menatap ke sembarang arah sebelum akhirnya mampu menatap wajah Andrew yang pucat dan kurus.
Tangannya menangkup wajah anak lelakinya,
"Pergilah kapan saja kau ingin, terbang dan tinggalkan rasa sakit itu. Mommy yakin kau akan mendapat tempat paling bahagia di sana, kau juga akan bertemu Elissa dan daddy." lirih Theresia bergetar.
Sekuat apapun ia mencoba air mata itu tetap berhasil lolos jatuh melewati pipinya yang mulai terlihat kerutan halus.
Keduanya berpelukan dalam tangis tanpa suara, kala itu langit mulai gelap dan mereka memutuskan untuk kembali ke rumah.
***
"untuk sementara hentikan serangan kepada Cliff." perintah Parkinson kepada orang kepercayaannya.
"baik, tuan." jawab pria itu patuh.
Dia kembali mengumpat, seharusnya ini waktu yang tepat untuk menghajar harga saham Rockeffeler Co.
Namun sialnya mengapa para wanita itu seakan menghantuinya? Mungkin saja Parkinson bisa mengabaikan Samantha dan Lucy, tapi wajah ibunya adalah kelemahan Parkinson.
Dia menarik salah satu sudut bibirnya angkuh, dulu Rockeffeler merupakan rajanya para pebisnis seantero Amerika tapi lihat sekarang karena keserakahan Cliff perlahan perusahaan raksasa itu melemah.
Keluarga itu tidak akan mungkin hidup dalam kemiskinan meski satu, dua atau bahkan tiga perusahaannya tutup, namun Parkinson tahu jika Cliff dan juga Lucy merupakan orang-orang yang memiliki harga diri tinggi.
Lihat saja bagaimana mereka bertahan dalam bahtera rumah tangga yang tidak lagi hangat-sejak awal keluarga itu memang tidak hangat dan tanpa cinta. Itu semua demi mempertahankan harga diri sebagai orang yang berada di posisi paling atas.
"Kau beruntung kali ini, Cliff." bisik Parkinson menyesap kembali Whisky miliknya.
...
Sudah memasuki hari kedua, Samantha masih terlihat enggan keluar dari kamar.
Ternyata dia belum benar-benar melupakan Andrew, mungkin lebih tepatnya dia belum bisa menerima alasan pria itu mencampakkannya.
Dia telah memutar kembali memori kebersamaan mereka yang hampir dua tahun berjalan. Mungkin benar Andrew terkesan dingin tapi Samantha yakin ada saat di mana pria itu menatapnya serta memperlakukannya dengan penuh cinta.
Samantha marah untuk waktu dua tahun yang sedikitpun tidak berarti apa-apa bagi Andrew.
Isi kepalanya penuh dengan pembalasan akan rasa sakit yang ia terima. Wanita itu kemudian bersumpah akan melupakan Andrew dan berjanji suatu hari akan membuat pria itu menyesal karena telah mencampakkannya.
Dia mengabaikan ketika terdengar panggilan masuk dari Shane.
Pria itu sungguh terlalu baik hingga membuat Samantha merasa tidak nyaman. Kemarin malam Shane mengirim bunga serta makanan setelah mengetahui jika Samantha tidak hadir di kantor.
Samantha juga yakin sejak awal Shane mengetahui semua ini, tapi untuk apa lagi hal itu menjadi masalah sekarang? Dia akan tetap berada di pihak Andrew sebagai sahabat lama, dan pada akhirnya Samantha lah yang terlihat egois.
Dia menghela nafas sebelum kembali meringkuk dalam keremangan kamar yang sepi. Samantha akan membiarkan dirinya sebentar, istirahat lebih lama lalu akan bangkit kembali seperti yang dikatakan oleh Lucy.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Flower
RomanceSamantha hampir tidak pernah berpikir jika selama ini dirinya hanyalah sebagai sosok pengganti bagi Andrew. Tak lama setelah pria itu berjanji akan segera melamarnya, Andrew justru memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Betapa hancur hati Saman...