Waktu berlalu begitu cepat. Semua berjalan seperti semula. Tentang Andrew nyatanya beberapa orang sudah mulai lupa. Terlebih tidak ada informasi apapun tentang kehidupan baru Andrew, membuat orang perlahan melupakan dan menjalani kembali hari penuh kesibukan—begitulah dunia berjalan, kisah hanyalah sesaat, dikenang lalu dilupakan; waktupun seakan ikut mendukung dengan berlalu begitu saja.
“Tolong siapkan lebih cepat data yang aku minta sebelumnya,” ujar Samantha sambil menandatangi kertas putih yang baru saja di antar oleh salah seorang staff.
“Baik, Miss.” sahut wanita itu.
...Samantha dengan langkah terburu-buru berjalan menuju lift. Dia memiliki rapat dengan para direktur.
Kini setiap hari ia menghabiskan banyak waktunya bekerja tanpa henti, sering kali para kepala divisi merasa kewalahan karena Samantha yang dinilai bertindak terlalu cepat dalam segala hal.
Beberapa ada yang merasa mulai terancam, bagaimana tidak? Samantha bekerja sangat teliti, bahkan untuk letak setiap titik dan koma dalam dokumen kini menjadi sangat penting. Wanita itu akan mendesak setiap data yang tidak valid dan memiliki unsur kecurangan.
Tak ada yang bisa menghentikannya, Cliff juga tidak bisa. Meski merasa khawatir dengan kondisi Samantha, tapi dia bersyukur wanita itu melampiaskannya dengan bekerja gigih. Setidaknya dia tidak mencoba melukai atau merusak dirinya sendiri. Cliff yakin tidak salah menjadikan Samantha bagian penting dalam perusahaan, wanita itu mandiri, pintar dan memiliki bakat yang luar biasa.
Rapat selesai setelah hampir lima jam penuh dengan ketegangan. Samantha tidak langsung ke ruangannya melainkan dia mampir ke ruangan Cliff. Dia menatap tajam ke arah Shinta—sekretaris Cliff yang duduk di sofa, wanita itu menyusun kembali dokumen di atas meja dan pergi dari sana.
Cliff sendiri tidak mau ambil pusing akan hal itu, hubungannya dengan Shinta hanya sebatas ranjang, dia tidak memiliki kewajiban untuk menjaga perasaannya. Lagian dia yakin Samantha tidak akan sampai melukai wanita itu.
“Daddy tidak mungkin tidak tahu siapa dalangnya buka?” Samantha duduk di sofa menunggu tanggapan Cliff.
Dia sudah mendengar masalah mengenai anak cabang perusahaan yang memiliki masalah—yang beberapa waktu lalu di permasalahkan oleh Tommy Morgan.
Cliff menghela nafas, tentu saja dia tahu.
“Direktur terkait merupakan pemilik saham 35% di sana.” ucap Cliff menjawab pertanyaan Samantha.
“Lalu?” Samantha mengernyit belum paham.
“Sam, saat ini cabang itu sedang dalam masa sulit. Tidak ada tanggung jawab para pemegang saham untuk setiap kerugian di sana. Untuk membeli saham yang bersangkutan juga hanya akan menimbulkan kerugian besar,” Cliff sendiri belum menemukan solusi.
“Jadi kita hanya akan diam?”
“karena itulah daddy merombak beberapa posisi. Setidaknya itu bisa menghindari adanya kerugian yang semakin besar,” sahut Cliff.
“Baiklah, daddy harus memberi tahu jika ada sesuatu yang harus kulakukan.” ucap Samantha sembari berdiri hendak pergi. Namun Cliff terdengar memanggilnya kembali,
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Cliff bersedekap sambil bersender di jendela yang sedikit terbuka.
“Seperti yang daddy lihat, jauh lebih baik,” jawabnya berusaha tersenyum walau sedikit kaku.
“Tadinya aku ingin marah pada daddy, namun urung aku lakukan mengingat daddy sudah lebih sering pulang ke rumah dari pada bersama wanita itu,” ucapnya menatap Cliff penuh keberanian. Bukannya marah pria itu justru tersenyum kecil.
“Kau terlalu jujur dan berani. Daddy menyukai hal itu,” ... “Lalu apa yang sebenarnya membuatmu marah pada daddy?” tanya Cliff.
Samantha terdiam, dia menatap ke arah lain sebelum berhasil bersuara.
“Karena daddy pasti tahu perihal permohonan mutasi itu lebih awal.” ujar Samantha, dia tidak menunggu balasan apapun dari Cliff karena setelah mengatakan itu dia pergi dari sana.
...
“Kau harus mencoba ini,” Shane mengambil potongan daging miliknya dan memberi Samantha untuk dicicipi.
“Wah, ini sangat lembut.” ujar Samantha sembari mengunyah daging itu dengan penghayatan penuh.
Selama sebulan ini Shane melakukan segala cara untuk membawa Samantha pergi, entah itu makan, jalan-jalan, main game atau sekedar menghirup udara luar yang lebih segar. Awalnya Samantha bersikeras tidak mau, tapi Shane terus meminta dengan wajah memelas.
Dan tidak ada usaha yang sia-sia, Samantha perlahan melewati segalanya dengan tegar. Meski kadang raut wajahnya tidak dapat berbohong, Shane dengan sabar menemani wanita itu seperti keinginan Andrew.
Dan semua usaha Shane tentu saja di ketahui oleh Lucy, seperti saat ini setelah selesai makan malam Shane menghantar Samantha hingga ke rumah.
“Ingin menunggu sebentar? tante akan buatkan teh,” ucap Lucy dengan hangat.
“Tidak perlu repot tante, saya juga masih memiliki tujuan lain.” jawab Shane sedikit terlihat kaku.
Bukan hanya kali ini, namun sudah beberapa kali Shane bertemu dengan Lucy. Wajah pria itu terlihat kaku meski tetap berusaha untuk tersenyum.
“Mengapa mommy terlihat pucat?” tanya Samantha setelah hanya mereka berdua.
“Kau bisa melihat, wajah mommy saat ini tanpa riasan.” sahut Lucy sambil menggandeng tangan Samantha menuju lantai dua.
“Seharusnya mommy yang bertanya, mengapa wajahmu tampak kusam?” tanya Lucy memperhatikan garis hitam di bawah mata Samantha. Kulitnya juga sangat kering.
“Itu tidak terlalu penting, mom.” balas Samantha acuh.
Dia tidak lagi peduli dengan penampilannya, bahkan jika bukan karena Lucy mungkin wanita itu akan menggunakan pakaian yang sama selama berhari-hari.
“Kau harus mencintai dirimu terlebih dahulu jika ingin membuka lembaran baru,” Lucy meliriknya dengan senyum kecil.
“Membuka lembaran baru bukan berarti harus berlabuh ke hati yang baru. Membuka lembaran baru artinya kau siap menantang dunia ini dengan cara yang baru.” lanjut Lucy menjawab pertanyaan yang ada dalam benak Samantha.
Tiba-tiba saja Samantha terdiam menatap Lucy.
“Mom ...”
“Ya,” Lucy ikut menatap penasaran.
“Bagaimana cara mommy menjalani hidup seakan semua baik-baik saja?” tanyanya.
Dia tidak bisa membayangkan menjadi mommynya yang bertahun-tahun hidup bersama dengan pria yang sama sekali tidak pernah menganggapnya ada. Bertahan dalam rumah tangga, menjadi istri dan ibu meski tak di cintai.
“Mommy tidak bisa mengulang waktu, namun juga tidak bisa membuatnya berjalan lebih cepat. Lantas mommy punya pilihan selain menjalaninya seakan-akan esok akan berganti lebih cerah dari hari ini?” tatapannya sendu.
“suatu hari kau akan mengerti,” lanjutnya sambil meremas lembut telapak tangan Samantha.
Selesai membersihkan diri, Samantha merebahkan diri di atas tempat tidur. Semenjak kejadian patah hati itu dia hampir tidak pernah tidur dengan lampu mati. Kini kegelapanpun terasa menakutkan baginya—tapi bukankah kegelapan memang menyimpan ketakutan dan kesedihan?
Setiap memejamkan mata ia dapat merasakan ada sesuatu yang besar menghantam kepalanya, alunan penuh duka memenuhi benaknya; nafasnya menjadi berat sehingga membuatnya selalu sulit untuk tidur. Langit malam menjadi teman berjaga, hembusan angin mengubah alunan duka menjadi menenangkan sedangkan suara detak jam di dinding bagai dongeng yang tak memiliki akhir.
~Pernah sekali cinta begitu sangat menyakitkan, kau dan egomu telah menciptakan satu ruang yang suram dalam hati.
Hingga waktu itu tiba aku melepaskan dirimu beserta egomu,
Kau menang di atas rasa sakitku~
![](https://img.wattpad.com/cover/345963312-288-k691018.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Last Flower
RomanceSamantha hampir tidak pernah berpikir jika selama ini dirinya hanyalah sebagai sosok pengganti bagi Andrew. Tak lama setelah pria itu berjanji akan segera melamarnya, Andrew justru memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Betapa hancur hati Saman...