Bab 27: Memulai dari Awal

56 3 0
                                    

Keesokan harinya,

Lucy duduk di pinggir tempat tidur sambil mengompres kening Samantha yang terasa panas. Sepanjang malam Samantha meracau hingga berhasil membuat Lucy khawatir, karena itu pagi ini ia memutuskan untuk memanggil dokter kenalannya.

"Ini hanya demam biasa, bisa jadi karena kelelahan atau banyak pikiran." ucap dokter Modesta sambil memberi beberapa resep kepada Lucy untuk di konsumsi oleh Samantha.

Lucy menatap lekat wajah Samantha yang pucat. Tadi malam sebelum Samantha tiba di rumah, Cliff mengirim pesan kepada Lucy memberi tahu perihal Andrew.
Tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja, semua tidak sesederhana Andrew meminta permohonan mutasi ke Las Vegas. Tidak—kenyataannya tidak seperti itu.

Lucy semakin sedih mengingat dia sendiri tidak bisa menjaga Samantha lebih lama. Dia—waktunya pun akan segera tiba cepat atau lambat.

"Gadis malang." lirihnya dengan mata berkaca-kaca.

...

Samantha hanya terbaring selama seminggu. Dunia tiba-tiba terasa kosong baginya. Setiap saat hanya ada Lucy yang menemaninya, membujuknya makan, menghiburnya dengan segala cara.

Tak hanya sekali dia berharap agar Andrew datang, dia ingin tetap hidup namun apa artinya jika tak ada lagi cinta itu?

Samantha memalingkan wajahnya menatap jendela kamar yang sedikit menyilaukan, lagi-lagi air mata itu jatuh begitu saja. Dia telah menangisi pria itu hingga terasa bola matanya kering dan mati.

Kemudian terdengar suara pintu kamar yang terbuka lalu tertutup kembali, Samantha memejamkan matanya sesaat sebelum menoleh. Seakan dia tengah membuat permohonan yang sudah tak terhitung banyaknya. Tetap saja masih Lucy yang terlihat berdiri di tengah ruangan dengan segelas air di atas nampan dan juga beberapa obat.

"Saatnya minum obat." ujar Lucy dengan senyum hangat.

Samantha menatap obat-obatan itu dengan jenuh, dia tahu tidak ada satupun dari obat itu yang bisa menyembuhkan dirinya. Dia setuju jika obat seharusnya terasa pahit namun tidak semua obat berbentuk pil, dia hanya membutuhkan seseorang—tentu itu mustahil terjadi, bukan?

"Mom, aku tidak ingin meminum obat lagi," lirihnya dengan suara lemah.

"kau membutuhkannya, sayang." sahut Lucy lembut.

"Mom, bukankah seharusnya aku menghadapi ini meski terasa sakit? untuk apa aku meminum obat pahit itu jika hanya bisa menenangkan selama beberapa saat?" dia berhenti sejenak, nafasnya tercekat menahan tangis.

"Sakitnya menjadi dua kali lipat setelah aku terbangun." bisik Samantha berurai air mata.

Betapa menyakitkan saat menyadari dirinya yang hanya mencoba berlari dalam keadaan terbaring.

Lucy sontak memeluk tubuh Samantha yang lemah, jauh di dalam hatinya ada kesedihan tak berujung. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Samantha akan menanggung ini semua, Lucy merasa gagal menjadi tiang yang kokoh untuk Samantha.

"Baiklah, tidak perlu meminumnya. Tidak apa-apa." ujar Lucy dengan nada kesakitan yang sama. Tangannya mengusap pipi Samantha yang basah oleh air mata.

"Kau tahu mommy berdiri di belakangmu. Berlarilah, biarkan kakimu menginjak tanah; jatuhlah lalu berdiri; kau juga boleh menangis tapi jangan sampai tenggelam dalam air mata; berhenti kapan saja tapi jangan menyerah." ucap Lucy ikut menahan air mata.

Dia harus dua kali lipat lebih kuat dari Samantha. Lucy sudah terbiasa selama bertahun-tahun hidup dengan hati terluka, sebagai sesama wanita dia hanya ingin Samantha jauh lebih kuat dan bahagia.

Setelah mendengar ucapan Lucy, tangisan Samantha terdengar semakin kencang dan memilukan hati. Selama ini dia menahan diri hanya dengan menangis diam-diam, kini Samantha melepaskan ledakan tangis itu.

...

Seminggu tidak cukup untuk menyembuhkan luka hati, tapi Samantha sadar memiliki tanggung jawab besar di perusahaan. Jika harus menunggu hingga perasaannya benar-benar pulih maka bisa di pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi kalau tubuhnya hanya terbaring dalam genangan kenangan masa lalu. Menyibukkan diri mungkin salah satu cara terbaik untuk bangkit kembali.

Saat ini sejumlah karyawan masih sibuk menggosip setelah kabar Andrew yang di mutasi ke Las Vegas.

Jika sebelumnya banyak spekulasi yang menyebut Andrew melarikan diri bersama Samantha, ada yang mengatakan jika keduanya sedang melangsungkan pernikahan secara diam-diam lalu memilih menetap di Las Vegas, yang lain mengatakan jika Andrew tidak mendapat restu dari keluarga Rockefeller lalu di mutasi ke Las Vegas.

Dari semua dugaan itu tampaknya tidak ada satupun yang benar. Terlebih setelah melihat kehadiran Samantha pagi itu di kantor. Beberapa spekulasi patah dan para penggosip beralih ke spekulasi lain.

Tidak terkecuali dengan Femmi yang sudah berusaha mencari tahu semua kebenaran yang terjadi, dia semakin mengernyit ketika Andrew tidak dapat lagi dihubungi. Semua akses menuju pria itu terputus lalu menghilang begitu saja.

Dia mulai berpikir jika semua ini tak lepas dari peran Samantha. Tentu saja untuk memutasi karyawan yang sudah bertahun-tahun mengabdi apalagi Andrew juga naik jabatan bukanlah hal yang mudah.

Apa yang terjadi hingga Andrew di mutasi? pertanyaan itu telah memenuhi benak Femmi selama berhari-hari. Dia hanya ingin tahu alasan di balik semua ini.

Namun tidak ada satu hal pun yang membuatnya curiga, juga tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi termasuk Shane yang merupakan sahabat Andrew.

Pria itu biasanya selalu menjadi sumber setiap gosip terbaru di kantor. Namun tentang Andrew tidak ada satupun yang ia ketahui kali ini. Femmi mengacak rambutnya frustasi, haruskah ia datang ke ruangan Samantha dan bertanya pada wanita itu? Namun Femmi sungguh tidak ingin menatap wajah wanita itu.

Dia telah kehilangan semangat bekerja setelah Andrew tidak ada; Femmi telah kehilangan ambisi dan gairahnya.

Samantha menggumam ketika terdengar suara ketukan dari luar. Dia berhenti dari pekerjaannya ketika siluet seseorang di tengah ruangan hanya diam tak bergeming. Matanya kembali terasa perih saat mendapati Shane berdiri di sana, entah mengapa Samantha tahu ada kesedihan di manik mata pria itu. Apakah dia juga merasa sedih atas keputusan Andrew?

"Hai," sapa Shane terlebih dahulu. Dia berusaha menunjukkan senyuman yang bahkan tidak sampai di matanya. Samantha tidak menjawab, dia takut jika suaranya terdengar bergetar.

Shane mendekat lalu meletakkan sejumlah dokumen penting di atas meja Samantha. Tiba-tiba ia membentangkan tangan terbuka ke arah Samantha, sialnya Samantha seperti sudah menunggu hal itu.

Dia sesenggukan tanpa kata dalam pelukan Shane. Tanpa ia sadari Shane juga meneteskan air mata. Dia dapat merasakan hancurnya hati Samantha, namun juga dia tidak bisa menahan kesedihan saat mengingat kembali semua kebenaran di balik ini.

"Kau akan melewatinya dengan baik." bisik Shane mengelus punggung Samantha yang bergetar. Tangan wanita itu terasa dingin, Shane berharap semua ini segera berlalu walau dengan akhir yang memilukan.

Dia juga patah hati, setiap hari dia dibayangi oleh ketakutan akan keadaan Andrew. Meski Andrew pernah mengatakan akan sesekali menghubunginya namun hingga saat ini pria itu mungkin masih membutuhkan waktu untuk menerima semua.

The Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang