Bab 23: Hasil Pemeriksaan

41 3 0
                                    

"Aku tidak tahu mengapa kalian harus berantem setiap saat lalu kembali bersama seperti tidak terjadi sesuatu." sindir Shane saat mereka tengah makan siang.
Detik itu juga dia mendapat tatapan maut dari Andrew, sementara Samantha hanya tersipu malu.

"Aku akan menjahit kedua bibirmu jika terlalu banyak bicara," gumam Andrew memperingati.

"Aku mengatakan yang sebenarnya," sahut Shane tak ingin kalah.

"Tapi jika di lihat-lihat kalian memang sangat serasi. Yang satu penuh cinta dan yang satu manusia tanpa cinta." lanjutnya dengan nada puas.

Walau ucapan Shane terdengar sedikit tajam namun baik Samantha dan Andrew sama sekali tidak ambil pusing. Keduanya justru saling menatap dengan penuh cinta. Mungkin benar, hubungan tanpa ada tantangan akan terasa dingin.

Samantha juga tidak tahu, meski mereka sering berdebat hebat bahkan saling berteriak sekalipun namun pada akhirnya cinta seperti membawa mereka kembali.

Sudah tidak terhitung berapa banyak Samantha menghabiskan waktunya untuk memandang cincin pemberian Andrew dengan wajah bersemu.

Pria itu mengatakan akan segera menjumpai Cliff dan Lucy untuk meminta restu mereka. Meski belum ada waktu yang pasti, setidaknya Samantha kini tahu Andrew bersungguh-sungguh pada hubungan mereka.

...

Di tengah kesibukannya siang itu Andrew kembali merasakan denyut di kepalanya, akhir-akhir ini dia semakin sering merasakan sakit itu, menurutnya hal itu karena waktu istirahatnya yang terlalu sedikit belum lagi pekerjaan yang tak ada habisnya.

Tapi semakin hari semakin mengganggu. Dia tidak yakin haruskah memeriksa ke dokter atau menunggu hingga beberapa hari ke depan, namun setelah di pikir-pikir Andrew memutuskan untuk menunggu hingga seminggu ke depan. Selama itu dia juga mengatur istirahat dan pola makannya.

Dia kemudian meraih ponselnya dan mencari kontak seseorang di sana. Hingga dideringan kedua panggilannya tak kunjung dijawab membuat Andrew mengernyit, tidak seperti biasa pikirnya.

Sekali lagi Andrew mencoba dan kali ini Theresia menjawab panggilannya.

"Mommy membuatku khawatir, mengapa lama sekali?" tanya Andrew dengan nada gelisah seperti anak kecil yang merajuk pada ibunya.

"Maaf, Nak. Mommy tadi dalam perjalanan. Mengapa kau menelpon? Baru ingat dengan wanita kesepian ini?" celetuk Theresia dari seberang telepon.

Andrew terkekeh mendengar ibunya yang mengomelinya.

"Walau aku jarang menelepon, tapi mommy selalu nomor satu di hatiku," ujar Andrew memegang dadanya, tentu hal itu tidak terlihat oleh Theresia.

Wanita itu terdiam, meski dia begitu senang selalu menjadi yang nomor satu di hati Andrew namun dia sangat berharap anak lelakinya itu memiliki seseorang yang istimewa di hatinya.

"Kau memang pintar berdalih," bisik Theresia dengan senyum kecil.

"Aku tidak berbohong, Mom." balas Andrew.

"Ya, mommy tahu. Lalu mengapa kau menelpon? Bukankah ini masih jam kerja?" tanya Theresia khawatir.

"Aku merindukan, mommy." ucap Andrew jujur.

"Mom, aku ingin memperkenalkan seseorang kepada, mommy." lanjut Andrew dengan nada rendah namun masih dapat terdengar oleh Theresia.

"Kau—kau bercanda?" tanya Theresia terbata.

"Tidak mom, aku sungguh ingin mengenalkan dia dengan mommy." balasnya dengan penuh keyakinan.

Tanpa diketahui olehnya, Theresia terlihat berkaca-kaca. Inikah jawaban doanya selama ini? Setiap malam dia berdoa kepada Tuhan untuk menghapus kesedihan Andrew, dia memohon agar Andrew tidak menghukum dirinya lebih lama.

Dia tahu betapa menderitanya Andrew sejak kejadian tragis itu. Selama itu tidak pernah sekalipun Andrew berniat untuk kembali ke kota ini.

Tidak hanya Theresia, namun kedua orang tua Elissa juga berharap Andrew merelakan apa yang telah terjadi. Mereka juga terpukul karena harus kehilangan putri mereka satu-satunya, namun semua yang terjadi pastinya sudah digariskan oleh sang pemilik kehidupan.

"Mommy tidak sabar ingin segera bertemu dengannya," balas Theresia sedikit bergetar, dia terlalu bahagia mendengar hal itu hingga tak sadar air matanya jatuh.

Siapapun dia wanita yang berhasil meluluhkan hati Andrew, Theresia yakin dia wanita yang luar biasa dan mengagumkan. Dia akan mengingat untuk berterima kasih pada wanita itu saat bertemu nanti.

Setelah meghabiskan waktu hampir satu jam untuk mengobrol dengan Theresia, Andrew mengakhiri panggilan itu.

Sepertinya tak perlu waktu seminggu untuk pergi ke rumah sakit, setelah selesai jam kerja Andrew sontak meraih kepalanya ketika sakit itu kembali menghantamnya.

Tubuhnya berkeringat dingin disertai dengan nafas tersengal, meski selama ini terkadang ia akan mengalami denyutan namun hal itu hanya terjadi ketika otaknya berusaha mengingat masa lalu, sementara kali ini rasanya sangat beda.

Denyutan itu sangat hebat hingga rasanya kedua mata Andrew akan terlepas.

...

"Kau tidak ingin masuk?" tanya Samantha sebelum turun dari mobil.

"Aku akan mampir lain kali, aku yakin Cliff akan membunuhku jika datang terlalu cepat," bisik Andrew berhasil membuat Samantha tertawa kecil.

Dalam waktu dekat Andrew akan naik jabatan menjadi Manajer pemasaran, dan di sini dia berencana akan bertemu dengan keluarga Rockefeller.

Setidaknya saat itu dia sudah lebih layak untuk Samantha.

"Baiklah." balas Samantha mengerti maksud Andrew. Keduanya berciuman sebentar sebelum Samantha turun dan Andrew kembali melanjutkan perjalanannya.

Pria itu tidak langsung pulang ke apartemen, setelah melirik jam di pergelangan tangannya dia memutuskan untuk mampir ke rumah sakit.

...

"Kau sudah lama mengalami hal ini?" tanya dokter yang duduk di hadapan Andrew.

"Ya. Dan akan mereda dengan obat sakit kepala biasa. Tapi, sebulan terakhir terasa lebih sering dan rasa sakitnya lumayan hebat," jelas Andrew.

Melihat dari gejala yang disebutkan oleh Andrew membuat sang dokter mulai gelisah.

"Kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya," ujar dokter Joseph.

...

Andrew akhirnya menjalani berbagai pemeriksaan yang membuatnya begitu bosan. Sebelumnya dia hanya berharap dokter mengatakan bahwa tubuhnya kelelahan lalu memberi obat untuk nyeri sakit kepala, nyatanya ia harus menjalani berbagai rangkaian pemeriksaan lanjutan.

"Kau memiliki anggota keluarga lain?" tanya dokter Joseph dengan wajah dingin, Andrew hanya menyeringai mendengar pertanyaan itu.

"Saya orang dewasa, Dok. Saya tidak memerlukan orang lain hanya untuk sekedar memeriksa diri." ujarnya dengan wajah sinis.

Dokter Joseph mengangguk.
"Tapi—kondisi anda sangat tidak baik" ucapnya prihatin.

"Apa maksud anda?" Andrew mengernyit dalam, perasaannya menjadi tidak karuan. Melihat dari tatapan sang dokter sepertinya hidupnya dalam bahaya saat ini.

"Kau harus cepat mengambil keputusan," dokter Joseph menyodorkan hasil pemeriksaan itu kepada Andrew.

Butuh waktu selama beberapa menit bagi Andrew untuk bisa menerima dengan baik hasil yang berada di depan matanya.

"Anda yakin tidak salah?" desisnya mengetatkan rahang.

"Dok, kau tahu aku bisa menuntut jika ini kelalaian anda." lanjutnya dengan nafas tercekat.

Dokter tidak menjawab, tatapan matanya yang penuh rasa prihatin cukup menjawab semua keraguan Andrew.

Dia mengusap wajah kalut. Tidak ada sepatah katapun yang mampu keluar dari mulutnya, tenggorokannya sangat kering dan tubuhnya seketika seperti kehilangan jiwa.

The Last Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang