(Beberapa bulan lalu – Rega Damasatya)
•••
Aku tahu Marwah kecewa. Aku tahu dia masih belum bisa menerima keputusanku. Aku juga tahu jika ucapannya beberapa hari lalu---tentang pengemis dan seorang ibu---bertujuan untuk menyindirku.
Aku akui aku memang salah, dan tidak sedikitpun keberatan akan sikap Marwah. Meski, jujur saja hatiku terluka. Ada bagian dari diriku yang ingin marah. Sayangnya aku tidak berdaya. Baik sekarang maupun waktu itu---saat para buruh berdemo di depan kantor untuk ke sekian kali. Sungguh, melihat peluh di wajah lelah mereka, aku tidak tega. Teriakan penuh harapnya pun terasa menghakimi telinga. Dan aku yakin, tidak ada manusia waras yang akan berpangku tangan di saat dia memiliki kuasa untuk membantunya. Tapi aku tidak bisa membuat Marwah sepenuhnya mengerti soal itu sebab dia tidak benar-benar ada di sana. Sementara di sisi lain, posisi Marwah adalah seorang istri dan calon ibu yang mengkhawatirkan masa depan anak kita.
Ya, masa depan anak yang ... Entah. Mendadak aku jadi ikut mengkhawatirkannya.
Menghela napas berat, aku mengusap wajah frustrasi. Duduk di teras rumah singgah yang menghadap langsung ke alam tidak mampu merilekskan pikiran. Padahal tanah lapang di hadapan---biasa digunakan untuk bermain bola---membebaskan mata mengedar. Angin dari bukit di ratusan meter sana pun berembus tanpa halangan.
Bangunan satu lantai ini memang berada di dataran tinggi. Jarak dengan beberapa rumah yang juga ada di sekitar lumayan jauh, tak heran jika suasana terasa sepi. Jalannya yang masih berupa tanah kemerahan hanya sesekali dilewati kendaraan. Sisanya orang-orang yang berjalan kaki. Dan saat sedang kemarau debunya akan mudah berhamburan.
Aku menoleh saat seseorang menepuk pundak. Kenzie, si pelaku, duduk di sebelahku. Dia pulang ke tanah air untuk mengurus perpanjangan visa. Keikutsertaannya ke mari hanya sampai besok pagi. "Jangan ngelamun, nanti kesambet."
Kembali ke depan, aku mengabaikan ucapan Kenzie.
Dia berdecap lidah. "Kamu mah kayak enggak biasa aja sama masalah ginian."
Aku mengedik. Ada banyak harap yang kadung melambung tinggi terkait proyek ini. Benar. Aku melepaskan perusahaan bukan tanpa persiapan. Sejak kantor bermasalah, aku mulai serius mengembangkan bisnis. Beberapa bulan lalu lahan pertanian bahkan resmi diperluas hingga sekian hektar. Penambahan bibit ayam serta pembangunan kandang di beberapa lokasi juga sudah rampung.
Namun sebab pikiran sedang bercabang tidak keruan, perhitunganku terkait modal dan keuntungan meleset jauh. Ditambah dengan adanya masalah hama dan virus yang merebak, membuat sejumlah sayur gagal panen dan matinya ratusan ekor ayam dalam sepekan. Banyak upaya penanggulangan yang telah dilakukan agar kerugian tak terlalu besar. Sayangnya hal itu tak memberi hasil signifikan. Nominal ratusan juta dari hasil patungan tetap melayang.
Atas dasar itu, aku nekad mengambil loncatan. Dengan waktu yang serba cepat, aku menyusun proposal sekaligus mencari klien dari kelas atas agar bisa segera balik modal. Tetapi lagi lagi aku salah perhitungan. Hingga di detik-detik terakhir menuju penandatanganan kontrak, pihak sana memilih membatalkan.
"Enggak perlu merasa bersalah sama kita, Ga. Ini bukan salah kamu."
"Uang segitu enggak sedikit, Ken."
"Iya, tapi kan kita memulainya sama-sama. Jadi udah sewajarnya kerugian ditanggung bersama."
Aku tak menyahut. Setengah keberatan. Karena bagaimanapun, sejak awal aku yang paling ngoyo.
"Lagian, Ga, aku kan udah bolak balik bilang, misal kamu butuh bantuan, bilang ke aku. Apa pun itu, aku siap. Jangan terlalu keras lah sama diri sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...