(Marwah Syaiqila–Sekarang)
•••
Selagi Mas Suami sibuk ngurus kerjaan, aku sengaja goleran di sofa. Golerannya bukan goleran biasa pula. Melainkan khas orang yang lagi gabut parah; posisi kepala sedikit menjuntai di bantalan sofa, lengkap sama rambut panjang yang tergerai jatuh menyentuh ubin dan kedua tangan melambai-lambai. Tujuannya tentu biar ditegur, terus aku yang bakal gunain kesempatan itu buat minta dia udahan.
Sayangnya, rencanaku enggak berjalan sesuai keinginan. Mas Rega tetap sibuk sendiri sama laptop di pangkuan. Bahkan sampai aku yang akting menguap berkali-kali ngerasa ngantuk beneran, enggak sedikit pun perhatiannya dialihkan.
Tapi aku enggak menyerah. Terus aja bertingkah. Dari mulai memukul-mukul meja kaca pakai pulpen kayak anak kecil, bergerak lasak, bikin suara-suara enggak jelas, dan terakhir pura-pura ngeluh sakit kepala. Dan ya, cara itu berhasil menarik atensi Mas Rega. Meski ucapannya yang sedatar jalan tol, berupa menyuruhku ke kamar sebab dia masih lama, sukses bikin aku menekuk wajah sambil ngedumel sebal. Terlebih karena setelahnya dia justru fokus lagi pantengin layar laptop.
Udah. Aku merajuk tuh di sana. Berbalik menghadap sandaran sofa, memunggungi dia. Lalu terlelap ... Entah di jam berapa. Pas bangun, aku udah meringkuk di kamar bersama selimut tebal membalut separuh badan. Juga termos kecil dan gelas tinggi berisi air putih di atas nakas yang Mas Rega siapkan.
Enggak urung, aku tersenyum---ke-geeran. Cuma saat menoleh ke sisi lain ranjang, Mas Rega enggak ada. Bekas seprainya mulus, antara tidur di kamar tamu atau begadang. Sementara, jam dinding sudah menunjukan pukul 02.00.
Aku menghela napas berat guna mengurai sesak. Lantas merubah posisi jadi terlentang, menerawang langit-langit kamar. Lampu utama dalam keadaan mati. Penerangan ruang berupa cahaya keorenan dari lampu tidur yang dipasang di setiap pojok plafon.
Sejak menikah, Mas Rega enggak pernah marah yang betulan marah. Banter-banternya ya sekadar diam. Itu pun cuma berlangsung beberapa jam. Kalau dirayu-rayu, palingan hitungan menit udah mau manggil "Yang". Makanya, sekarang aku bingung kudu gimana. Aku enggak mau terkesan egois dengan memaksanya. Atau berusaha menjelaskan terkait keputusanku mengulur waktu buat ngasih tahu hasil tes sebelum dia melunakkan egonnya. Tapi terus-terusan dicueki gini ... Sampai kapan aku bisa sabar?
Tiba-tiba pertanyaan yang pernah aku ajukan di Spanyol berkelabat. Pertanyaan mengenai Mas Rega yang mau memberi kesempatan ke dua atau enggak andai aku merusak kepercayaannya. Dan Mas Rega menyahut, "Enggak."
Lalu saat aku mengulik lagi dengan kalimat, "Kamu bakal marah ke aku kalau aku apa?"
Dia serius menjawab, "Kamu enggak mau terbuka sama aku."
Mendesah tak berdaya, aku menekan bantal ke wajah. Jeritku teredam, cairan hangat yang merembes turun dari ujung mata. Lama kelamaan terisak juga.
Berselang sekian menit, bantal ditarik paksa seseorang. Mas Rega, si pelaku, berdiri di samping ranjang. Meski sekilas, aku sempat menangkap ekspresi panik di wajahnya. Mungkin barusan dia kira aku kenapa-napa.
"Mas ...." Kalau pun aku terlihat menyedihkan, Mas Rega memilih membuang pandang dan menggenggamkan minyak kayu putih ke telapak tanganku.
Aku buru-buru bangun, mencekal kuat lengan Mas Rega saat dia akan beranjak.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini, Mas?" Rasanya aku udah enggak tahan buat tetap diam. "Bukannya susah ya bersikap seolah enggak peduli sama aku?"
Mas Rega bergeming.
"Aku tahu pagi tadi kamu joging keluar kompleks cuma buat beliin aku mangga. Aku juga tahu kemarin kamu diam-diam mindahin bumbu di rak atas ke bawah biar aku enggak perlu manjat kursi buat ngambil. Dan sekarang pun kamu sebenernya khawatir sama aku, kan?" tanyaku penuh harap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...