part 17

262 31 2
                                    

(Beberapa bulan lalu - Rega Damasatya)

•••

"Mas." Suara Marwah menelusup halus. Ada aroma mint yang samar-samar aku cium. Tak lama, sesuatu mendarat di sebelah pipiku. Rasanya lembab, hangat dan lembut. "Mas Rega."

Aku membuka mata perlahan. Sedikit menyipit, menyesuaikan retina dengan keadaan terang kamar sambil mengerjap lambat mengumpulkan kesadaran. Perlu beberapa sekon sampai aku merubah posisi miring menjadi terlentang.

"Kamu kalau tidur kayak bunga dandelion. Gampang terusik," kata Marwah. Dia sudah mengenakan mukenah. Bibirnya tersenyum indah. Lalu saat dia akan menegakan badan, aku sigap menarik lengannya pelan. Marwah rubuh tepat di dadaku.

"Kapan bangun?" tanyaku, serak. Kedua tangan memeluknya erat. "Kok tumben aku enggak kerasa. Makan apa tadi? Mie instan lagi? Atau sereal sama susu?"

"Aku enggak makan."

Aku melirik penanda waktu di nakas. Pukul 03.15 pagi. Biasanya, Marwah masih meringkuk di sebelahku di jam segini. Pun, aku yang kadang kali terjaga dan akan memandangi wajahnya hingga jarum panjang berhenti di angka enam. Barulah setelahnya membangunkan dia pelan-pelan.

"Terus kenapa bangun awal?"

"Sengaja pengen nyuri start."

"Oh, gitu." Aku kembali memejam.

"Kamu gondrong, ih." Marwah menyibak rambut depanku. Disisir menggunakan jemarinya. "Udah kayak singa yang iklan ice cream di tv."

"Biarin. Nanti mau aku ikat biar keren."

"Enggak boleh. Enggak cocok."

"Cocok. Dulu pas kuliah aku juga sempet gondrong."

"No no no. Atau enggak, aku yang nanti cukur kamu kalau kukuh mau gondrong. Tak bikin botak sekalian."

Aku tersenyum tipis. Tiba-tiba sangat menyayangkan tindakan mereka-mereka yang memilih melawan kodrat. Sebab, aku yakin Allah tidak akan meridhoi sedikitpun kenikmatan atasnya. Baik secara dzohir maupun batin. Kenikmatan yang luar biasa besar meski hanya momen sesederhana ini setiap pagi. Kenikmatan yang memberi rasa tentram dan nyaman, bukan gersang pada hati akibat nafsu liar.

"Mas."

"Ehm."

"Ayo."

"Ayo ke mana?" tanyaku, berlagak tidak tahu.

"Bangun."

"Oh."

"Buruan. Enggak boleh lho, nurutin setan. Nanti tergolong orang-orang yang merugi. Mas mau emangnya?"

"Enggak."

"Makanya wake up. Yuk."

Menunjuk pipi, aku berkata, "sun sini dulu."

Dia melakukannya. "Udah."

"Singkat banget masa."

"Yang penting kan udah."

"Enggak mau kalau kayak gitu." Aku pura-pura merajuk.

"Mas."

"Ulangi."

Marwah berdecak kecil. Menuruti permintaanku.

"Masih kurang."

"Maaas," protesnya.

"Dalem, Sayang."

"Ih." Pundakku dipukul main-main.

Aku membuka mata. Lalu terkekeh kecil mendapati wajahnya yang bersemu dan merengut malu-malu. Baru juga dipanggil Sayang, tapi sudah begitu. Bagaimana jika aku bilang i love you? Setelah dipikir-pikir, selama ini aku memang terlalu kaku, serius dan membosankan. Keengganan membuat Marwah jengkel selalu menahan niatku untuk menggoda atau meledeknya. Namun sekarang aku sadar jika hal-hal semacam itu sangat dibutuhkan di dalam hubungan. Mimpi Marwah di rumah Mama sudah berhasil membuka mataku, menunjukan sudut pandang dari sisi yang lain; kita butuh banyak main-main di tengah ketegangan dan hiruk pikuk pikiran negatif yang sering merepotkan.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang