(Rega Damasatya–Sekarang)
•••
"Biar aku yang cuci," cegahku, bangkit dari kursi, mendekati Marwah yang sudah berdiri di dekat wastafel.
Marwah seperti menimang-nimang. Bukan tanpa alasan. Melihat jumlah perabot kotor yang lumayan banyak, aku tahu dia segan membiarkanku yang mengerjakan.
"Enggak apa-apa." Aku meyakinkan, meletakan piring bekas sarapan ke tempat cucian. Lalu meminta piring kotor yang Marwah pegang. "Sekalian. Sini."
Kepalanya menggeleng. Dia bergeser memberiku ruang, masih sambil membawa piring kotornya di tangan. Ekspresi wajahnya yang ditekuk sejak pembicaraan semalam, dan tingkahnya yang sok jual mahal ....
"Kenapa senyum?" tanyanya, tersinggung.
Aku terkesiap. Benar-benar tidak sadar sedang tersenyum. Lantas berdeham. "Enggak," sahutku, berusaha agar terkesan biasa saja.
Marwah memicing curiga. Dia mengeluarkan gawai dari saku gamis, bercermin di sana.
"Masih cantik, Yang." Aku buru-buru meluruskan persepsinya. Riasan yang Marwah aplikasikan ke wajah memang belum berubah meski sudah berkutat dengan bumbu dapur.
Marwah tidak mau mendengar. Justru mulai sibuk menghapus lipstik menggunakan lengan bajunya. Padahal, warna yang dipilihnya sekarang adalah warna favoritku.
Sayang sekali.
Menghela napas pasrah, aku maju satu langkah dan menghentikan tangannya. Dia mendongak. Tak keberatan saat aku mengambil alih piring dan mengusap lembut bibirnya setelah menyimpan benda berbahan beling itu ke meja.
"Salah enggak misal aku kepikiran cara lain buat ngilangin lipstik ini?"
Alisnya bertaut samar. Kemudian terperanjat. Terlepas dari hasil sapuan make up, pipinya bersemu merah jambu. Namun bukan Marwah namanya kalau mau terang-terangan tersipu. Lihat, sekarang dia mendengkus kecil sambil melengos.
"Ngeres," cibirnya.
"Aku atau kamu nih yang ngeres?" Aku menggodanya dengan santai.
Marwah menghadap lagi padaku. Tidak terima. "Kamu!"
Aku menaikan alis. "Yang aku maksud pakai tisu."
"Ha ... ih!" Dia berteriak, memukul lengan atasku. Sebal sekaligus malu. Kemudian pergi. Sedikit berlari. Meski sekilas, aku sempat melihat sudut-sudut bibirnya berkedut.
Tak urung, aku pun terkekeh pelan sembari menggeleng samar. Lantas berbalik badan dan menghidupkan kran.
Beberapa menit berselang, suara salam terdengar di depan. Tanpa diminta, Marwah keluar kamar dan beranjak membukakan. Tak lama, dia menghampiriku yang tengah membilas hasil cucian.
"Mas," panggilnya, gengsi.
Aku menoleh. "Ehm?"
"Ada Ahmad. Dia bawa perwakilan Mahasiswa yang katanya mau praktik lapangan ke kebun."
"Perwakilan Mahasiswanya berapa orang?"
"Dua. Cowok cewek."
Mengangguk, aku merampungkan bilasan. Sengaja tidak mengeringkan tangan.
"Ayo," ajakku.
Perhatian Marwah tertuju ke sisa-sisa air yang menetes di ujung jariku.
"Mas, ih! Becek itu." Protesnya.
Ketika dia akan beranjak mengambil lap, aku buru-buru menghentikan. "Nanti aku yang pel. Janji."
"Mas ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...