(Beberapa bulan lalu - Marwah Syaiqila)
•••
"Mas?"
"Iya, Yang."
"Kamu lupa pencet flush."
"Hem?" Dia merespon sembari mengetik sesuatu di laptop. Enggak sepenuhnya mengindahkanku.
"Harta karun kamu berenang di kloset."
"Harta karun?"
Aku berdecak sebal. "Kamu habis pup. Ee!" jelasku.
"Eh?!" Wajahnya langsung mendongak dari balik layar. Tampangnya polos polos gimana. Mata berkedip, dahi sedikit berkerut tanda sedang mengingat-ingat. Lalu bibir Mas Rega bergerak kayak bilang "oh." Sedetik setelahnya, dia mengangkat badan yang sejak satu jam lengket di kursi tinggi meja bar.
Buru-buru, aku menambahi, "Udah aku pencet."
"Ah ... Oke." Mas Rega mengangguk. Duduk lagi, dan melanjutkan kegiatan.
Aku menyangga dagu, memperhatikannya di seberang. Harusnya hari ini kita me time nonton film, kan senin sampai jum'at dia udah super duper sibuk. Terutama beberapa minggu ke belakang. Berangkat pagi dan pulang jam sepuluh malam. Ditelepon pun jarang banget bisa diangkat. Chat wa ... Huh, jangankan dibalas, dibaca aja kadang enggak. Dia baru sadar setelah aku tanya, "Mas, chat aku kok dianggurin, si?"
Terus baru deh dia ngecek hp. Senyum tanpa dosa selalu jadi awal sebelum bilang, "Maaf, Yang, aku enggak ngeh."
Dan yang bisa aku lakuin cuma menghela napas. Pertama, karena hal itu udah punya label "biasa". Kedua, tahu diri aja lah. Kan dia sibuk nyari nafkah buat memenuhi kebutuhanku sebagai istri. Meski, enggak munafik, kadang aku pengen banget ganti gula jadi garam pas bikinin dia teh manis. Atau pura-pura tuli saat dia manggil dan tanya, "Yang, kamu lihat kunci mobil enggak?"
Atau, "Yang, jam tangan sama dompet aku di mana, ya?"
Tapi sekali lagi, aku tahu diri kalau aku masih doyan jajan dan butuh skincare.
"Mas?"
"Ehm."
"Kamu naruh botol sabun cairnya terlalu pinggir, jadi jatuh. Isinya tumpah semua ke lantai."
Reaksinya sama kaya tadi.
"Udah aku benerin," kataku, menghentikannya yang hendak berdiri. "Handuk basah yang kamu tinggal di kasur juga udah aku jemur, sekalian masukin baju kotor di kapstok belakang pintu kamar mandi ke mesin cuci."
Senyum sangsinya terbit. Sadar kalau kebiasaanya terulang pagi ini, padahal baru dua hari lalu aku mewanti-wanti. Dan bisa diprediksi kalau lusa bakal gitu lagi.
"Yang." Mas Rega mendorong kursi ke belakang. Bunyi khas besi padat menggesek keramik terdengar. Kemudian dia mengitari meja untuk menghampiri. Tanpa segan tangannya dilingkarkan ke leherku. "Maaf, ya. Aku lupa."
"Hem," sahutku, enggak ikhlas.
"Besok-besok enggak lagi."
"Kemarin juga bilangnya besok-besok enggak lagi." Aku menyindir halus.
Lewat ekor mata, aku melihat mulutnya yang terbuka. Tapi enggak lama kembali terkatup. Dia enggak punya pembelaan. Cuma, bukan Mas Rega namanya kalau bakal diem aja setelah bikin jengkel. Lihat, kini kecupannya datang bertubi-tubi di pipi.
"Mas." Aku menegur sambil menjauhkan wajah. Bukannya berhenti, Mas Rega malah makin menjadi.
Oh, jangan membayangkan adegan romantis, terlebih mesum. Apa yang Mas Rega lakukan sekarang lebih mirip anak kecil yang lagi bujuk ibunya, alih-alih suami ke istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...