(Rega Damasatya–Sekarang)
***
"Neng, menjadi ibu itu bukan soal bagaimana dia melahirkan," kataku, mengusap lembut punggungnya. Berusaha memberi pengertian dengan perlahan. "Caesar atau normal, perempuan yang memiliki anak adalah seorang Ibu. Allah meletakan surga di telapak kaki kalian tanpa pengecualian."
Marwah menutup wajah menggunakan dua tangan. Menggeleng lemah. "Kamu enggak ngerti," bisiknya.
Aku bergeser maju lebih dekat. Lalu merengkuhnya. Marwah menenggelamkan wajah ke pundakku. Tangisnya pecah. Pandangan negatif segelintir orang terhadap operasi Caesar memang kerap kali membuat perempuan merasa kecil. Belum lagi komentar-komentar yang sifatnya menyudutkan, meremehkan, dan lantas memberi label ketidaksempurnaan status Ibu bila tak merasakan sakitnya melahirkan. Marwah, aku tahu, bukan tipe orang yang akan meyakini hal itu. Dia hanya gampang dibuat resah oleh ucapan orang, terutama tentang standar keberhasilan sebuah rumah tangga. Juga karena aku, laki-laki yang dianggapnya sempurna ini, dia jadi kecewa pada dirinya sendiri.
"Mas ...." Dia tersedu-sedu. "Mereka enggak pernah nakal. Enggak pernah nyusahin aku. Kalau lagi rusuh pun selalu langsung anteng pas didengerin rekaman ngajinya kamu. Aku enggak mau mereka lahir sebelum waktunya. Kasian."
Hatiku berdenyut ngilu. Jika boleh memilih, aku pun tidak mau anak-anakku lahir dengan paksaan. Aku masih ingin menebus kealfaanku selama ini, menjalani peran sebagai suami yang menemani Marwah setiap kali terbangun di tengah malam. Masih ingin pula melihat Marwah kegirangan saat mereka aktif menendang, atau dia yang suka sekali mengusap-usap perut di depan kaca sambil tersenyum senang. Namun membiarkan usianya sampai 9 bulan akan sangat beresiko bagi Marwah serta anak kita. Dan sebenarnya, sejak awal Fatma sudah memberitahu Marwah tentang kemungkinan operasi caesar, di samping adanya peluang melahirkan secara normal. Tak heran jika Marwah terus berupaya meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Sayangnya, hasil lab dari pemeriksaan kedua saat Marwah mengeluhkan sakit kepala hebat malam itu menunjukan hasil yang tidak diinginkan. Membuat Fatma langsung mengambil tindakan berupa terapi, pun mejadikan operasi sebagai satu-satunya opsi.
"Allah kok tega banget si sama aku, Mas." Marwah tergugu. "Selama ini aku kan udah berusaha taat, bahkan lagi proses buat menghafal al-qur'an. Kamu juga rutin menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Tapi kenapa dikasih cobaannya kayak enggak kelar-kelar."
"Ssstt, enggak boleh ngomong gitu." Aku menegur lembut. "Allah tahu apa yang enggak kita tahu."
"Tapi aku enggak mau caesar!" Dia kembali merancau. Kepalanya menggeleng-geleng. "Enggak mau, Mas. Enggak mau!"
Aku mengeratkan pelukan. Sudah sejak pagi Marwah menahan diri hanya karena Mama di sini. Kepulangan kita dari rumah sakit yang mendadak tentu mengundang kecurigaan beliau, dan tak kuasa untukku berbohong saat disuguhi kalimat bersoal mengenai apa yang terjadi.
"Nanti Mbak Susan pasti tambah ngelihat aku sebagai beban buat kamu, Mas. Dulu aja aku pernah denger. Katanya ...." Dia sesenggukan. "Katanya keluargaku itu numpang hidup ke kamu kayak benalu. Bikin susah. Mana Ayahnya sakit-sakitan pula. Terus mentang-mentang lagi hamil, aku enggak mau ngapa-ngapain. Gayanya udah kayak tuan putri. Pokoknya kalau di rumah Mama cuma ongkang-ongkang kaki doang. Enggak malu. Gitu."
Mataku terpejam rapat. Rahang terkatup kuat menahan gejolak emosi yang seketika ingin meledak. Meski sudah menduga, rasanya tetap mengkal dan tak terima mendengar istri yang selama ini aku jaga sebaik mungkin, yang hanya karena membentaknya saja sudah membuatku merasa sangat bersalah, diperlakukan demikian oleh orang lain.
Dan untuk Marwah, aku yakin, dia tidak akan mau menceritakannya andai tidak sedang kalut seperti sekarang. Takut aku bersitegang dengan yang bersangkutan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romansa#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...