part 1.

1.6K 83 15
                                    

(Sekarang – Marwah Syaiqila)

•••


"Udah mendingan?" tanya Ibu. Beliau duduk di pinggir ranjang, memperhatikanku dengan khawatir.

Aku yang masih menyeruput teh anget mengangguk. Kepala yang sempat keliyengan kerasa enteng setelah dipijat Ibu.

"Besok kamu ada jadwal cek up, kan?"

Sambil meletakan gelas ke nakas, aku menjawab, "iya, Bu."

"Sekalian minta obat pereda mual, Mar. Ibu lihat makin ke sini kayaknya makin menjadi."

"Kalau obat pengempis kaki yang bengkak ada enggak, si, Bu?" Melirik miris keadaan kaki, aku mencicit, "Malu aku tuh."

"Kaki bengkak itu wajar. Nanti juga normal lagi."

"Pengennya si sekarangan aja kalau bisa. Badan udah melar, masa kakinya ikut-ikutan."

"Justru kalau kakinya enggak ikut melar malah jadi enggak proposional." Ibu tersenyum tipis. "Lagian, kamu lagi hamil kok maunya tetap kaya gadis. Ya enggak bisa."

Aku menghela napas panjang. "Jadi ibu ternyata secapek ini ya, Bu. Hamil selama sembilan bulan, lengkap sama rasanya yang ... Ya pegel, ya mules, ya lemes, ya pusing .... Enggak keruan lah pokoknya. Belum lagi perubahan fisik sama hormon yang bikin mood berantakan. Pas lahiran, nyawa yang jadi taruhan. Sesudahnya masih harus mengurus dan mendidik anak. Enggak heran kalau surga ada di telapak kaki Ibu."

"Iya, makanya balasan bagi anak yang durhaka itu diturunkan langsung di dunia sama Allah."

"Iya, ya Bu." Aku manggut-manggut. Tapi tiba-tiba teringat satu topik yang akhir-akhir ini lagi banyak banget dibicarain. "Cuma misal orangtuanya yang toxic itu gimana, Bu? Apa si anak tetap durhaka kalau ngasih perlawanan dengan maksud mempertahankan haknya?"

"Memang ada orang tua toxic? Orangtuanya lho, ini. Bukan cara asuhnya?"

"Dari curhatan anak-anak di media sosial si gitu. Bahkan ada yang sampai ninggalin komentar gini di salah satu video kajian di YT, 'banyak banget kajian yang mengkaji tentang perlunya hormat pada orang tua, tapi hampir enggak ada yang membahas hal sebaliknya. Kenapa?'. Dia juga ngaku pernah dihina orangtuanya di depan umum."

Ibu terdiam. Dan aku tahu apa yang Ibu pikirkan. Karena jujur aja, aku juga miris pas baca. Maksudnya, apa udah segitunya sampai dia merasa perlu mencari validasi untuk menyalahkan orang tua?

Bukan. Aku enggak mau menghakimi pihak mana pun. Aku tahu konflik semacam ini sangat komplek dan krusial. Ibaratnya kaya nyimpan bom waktu, kapan masanya pasti meledak. Dan yang hancur adalah rasa respect antar keluarga, yang mana bisa bikin hubungan darah jadi enggak ada artinya.

"Gini, Mar." Ibu menatapku. "Ibu si enggak bisa berpendapat gimana-gimana, ya. Cuma menurut pandangan Ibu sebagai seorang ibu, kayaknya enggak ada deh orang tua yang pengen buat anaknya sengsara. Maksudnya, terlepas dari cara dan sikapnya yang salah, tujuan orang tua itu baik. Dan kadang, kita sebagai anak suka lupa kalau orang tua juga manusia biasa, enggak mungkin bisa sempurna atau lepas dari sifat manusiawinya yang kadang nyebelin, otoriter, pemarah, cerewet dan semacamnya.

"Dulu, Ibu juga sering menganggap orang tua ibu egois---atau kata anak jaman sekarang itu toxic---cuma karena beberapa hal. Sekarang, setelah Ibu jadi orang tua, Ibu sadar kalau apa yang beliau lakukan ternyata tindakan benar. Karena bisa jadi, bukan orangtuanya yang toxic, tapi pemikiran kita yang belum nyampe untuk bisa paham. Bukan orangtuanya yang toxic, tapi ego kita yang terlalu dikedepankan sampai enggak bisa introspeksi diri.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang