part 2.

856 41 1
                                    

(Sekarang – Rega Damasatya)

•••

"Terima kasih. Aku tidak bisa membayangkan setakut apa Angelin saat melihatku terkapar di lantai. Mungkin jika tidak ada kau, anak malang itu akan ikut pingsan bersamaku."

Aku tersenyum tulus. "Jangan berterimakasih, Josh. Kau dan Glen sudah banyak membantuku. Sudah seharusnya aku juga berlaku demikian."

Tatapan Josh yang semula dipusatkan padaku dialihkan ke langit-langit kamar, menerawang jauh. Wajah rentanya berubah muram. Dan aku tahu alasannya. Lalu dia menghela napas berat. "Apa sudah terlambat jika aku ingin meminta maaf pada Glen, Damas?"

"Tidak ada kata terlambat."

Josh kembali menghela napas berat.

"Glen tahu kau sangat menyayangi dia," kataku, lagi. "Dan kau juga tahu kalau Glen menyayangimu. Kalian hanya perlu waktu untuk kembali dekat."

"Apa menurutmu sesimple itu? Maksudnya, aku menelantarkan Glen hampir seumur hidupnya. Kita tidak pernah menjadi dekat sampai akhirnya benar-benar berjarak."

"Maaf, Josh. Tapi ada yang perlu aku koreksi dari kalimatmu. Kau bukan menelantarkan Glen, melainkan menitipkannya ke daycare."

Josh mendengkus kecil. Senyum di bibir keringnya terlihat putus asa. "Apa bedanya? Aku yakin Glen lebih suka istilah menelantarkan."

"Bagaimana bisa kau berpikir begitu?"

"Entahlah," jawabnya, mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Barangkali aku hanya takut menjadi tidak tahu diri."

"Dan itu yang membuatmu merasa malu mendekati Glen?" Aku bertanya hati-hati.

"Mungkin."

Jujur saja, aku tidak pernah ingin ikut campur masalah Josh dan Glen. Bagaimanapun aku adalah orang baru di sini. Namun, diam seolah tidak tahu apa-apa nyatanya lebih sulit. Josh percaya padaku. Dia tidak segan bercerita lebih dulu saat kita sama-sama sarapan di satu meja. Dan aku tidak bisa untuk tidak serius mendengarkannya. Kini agaknya aku sudah masuk terlalu jauh. Hingga di waktu-waktu tertentu, aku merasa harus menjalani peran sebagai penghubung antara Josh dan Glen. Seperti yang beberapa jam lalu aku lakukan.

Semalam, Josh ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri. Aku yang sudah setengah lelap dibuat lari tunggang langgang menuruni anak tangga karena jeritan Angelin. Lalu di ambang pintu kamar Josh, aku mendapati pria renta itu dalam pelukan cucunya yang menangis sesenggukan. Sekilas aku seolah melihat Marwah saat keadaan ayah memburuk. Jadi tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong Josh ke mobil dan membawanya ke rumah sakit terdekat.

Belakangan aku sadar jika sweater rajut dan celana khaki-ku sangat tidak pantas dikenakan ke tempat umum. Belum lagi di tengah cuaca dingin begini. Terakhir aku lihat berita, katanya perkiraan salju pertama akan turun pertengahan bulan ini, yang artinya tinggal menghitung hari. Jika Angelin yang tadi pamit untuk mengurus administrasi datang, aku akan langsung pulang. Para tetangga yang cukup dekat dengan Josh pasti sedang menunggu kabarnya. Kawasan tempat tinggal Josh memang rata-rata dihuni lansia. Mereka biasanya berkumpul di halaman samping rumah sambil minum teh di akhir pekan.

"Josh." Dia menoleh, dan aku memberinya senyum ringan. Tidak mau terkesan sok. "Prasangka sering menipu. Bayangan penolakan nyatanya hanya ada di kepalamu. Apa kau tahu, Glen sangat khawatir saat aku bilang kau ada di rumah sakit?"

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang