(Rega Damasatya - beberapa bulan lalu)
•••
"Kamu tahu betul sesayang apa aku sama kamu."
Dan Marwah tahu kalau aku pun begitu.
"Kamu juga tahu seberapa banyak aku bilang i love you meski kamu enggak pernah balas i love you too."
Masalah itu ... Biarlah jadi urusanku.
"Terus kenapa kamu lebih milih lari ke rokok daripada ke aku?"
"Enggak ada kaitannya antara kamu sama rokok. Jauh sebelum menikah, aku sudah ngerokok. Berhenti karena uang sakuku waktu itu enggak akan cukup untuk beli rokok."
Walau sekilas, aku sempat melihat pupil mata Marwah membesar karena tak menyangka. Lalu meredup, sarat rasa kecewa. Dia memalingkan wajah, dan aku bisa memakluminya. Kebanyakan perempuan, termasuk Marwah, memang tidak menyukai laki-laki perokok. Fakta jika suaminya ini pernah, bahkan masih, menjadi bagian dari mereka jelas tak mengenakan.
"Berarti kamu udah ngerasain segimana bikin candunya rokok. Udah ngelewatin juga fase lemes, suntuk sama enggak ada semangat selama proses buat berhenti ngerokok." Suaranya pelan. "Tapi kamu malah balik lagi ke titik nol?" tanyanya, tak habis pikir.
Aku tidak menyahut. Untuk beberapa menit ke depan, kita sama-sama diam. Dan selama itu, dadaku terasa bergelenyar resah. Terlepas dari reaksi Marwah, sejak awal aku tahu kalau tak sepatutnya keruwetan dilampiaskan pada rokok. Bahkan selalu ada sesal yang bercokol setiap kali aku tuntas membakar satu batang. Sayangnya di saat saat tertentu, keinginan untuk menyesap asap nikotin sukar ditahan.
"Maaf." Marwah berbisik, seperti akan menangis. "Maaf buat semua sikapku yang udah bikin kamu enggak nyaman. Meski kamu enggak bilang, tapi cara kamu manggil aku dan kamu yang enggak mau langsung cerita tentang masalahmu, nunjukin kalau ada yang enggak bener sama aku."
Dia menunduk. Tangan saling meremas di pangkuan.
"Selama ditinggal kamu, aku juga sadar banyak hal. Salah satunya, mungkin keadaan kita saat ini, itu perwujudan doa yang pernah aku panjatkan. Kayak, dulu aku sering protes karena kamu enggak punya waktu buat aku. Sekarang Allah bikin kamu jadi pengangguran. Kamu punya banyak waktu luang."
Aku menghela napas berat. Mendengarnya berkata demikian membuatku terenyuh. Terbayang bagaimana dia sering menghabiskan hari hanya dengan seekor kucing. Untuk orang yang suka keramaian seperti Marwah, hal tersebut pasti sangat membosankan.
"Yang."
Marwah menoleh. Matanya sudah merah.
Tersenyum, aku mengulurkan tangan. "Sini deketan Mas."
"Enggak mau, nanti ketularan."
"Lho, kata kamu tadi, 'demam terjadi karena ada gangguan pada sistem pernapasan yang disebabkan virus. Dan virus bisa menular lewat air liur'. Mas kan pakai masker. Dari mana nularnya? Atau, Mas perlu pakai sarung tangan dulu?"
Dia menampik tanganku sambil memasang raut cemberut. Namun sesudahnya bergeser mendekat. Aku menjauhkan punggung dari kepala ranjang dan membawa istriku dalam peluk. Dagu Marwah yang bertumpu di salah satu pundakku membuat suara napasnya terdengar jelas di telinga.
"Jangan ngerokok lagi. Aku lebih suka nyium kamu bau keringet karena ke gym seharian buat lepasin stres daripada nyium bau tembakau."
Aku tak langsung merespon. Bukan sebab keberatan menyanggupi. Hanya saja, aku tak berani berjanji.
Jangan bicara soal hukum rokok. Baik yang mengharamkan, memubahkan atau memakruhkan, ketiganya memiliki fatwa berdasarkan dalil masing-masing. Tidak sepantasnya diperdebatkan atau saling dibenturkan. Toh, perbedaan dalam masalah furu', itu termasuk ramhat dan sudah ada sejak zaman para nabi---di antaranya, nabi Musa a.s dan nabi Harun a.s yang diabadikan dalam surah thaha ayat 92-94. Jadi mau sampai kapan pun, hal tersebut tidak akan pernah bisa menemui kata sepakat pada satu pendapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...