(Beberapa bulan lalu - Marwah Syaiqila)
•••
Sebenarnya aku masih jengkel perihal Mas Rega yang ngeyel pergi ke Batam. Tapi begitu tangannya melingkar ke pinggang, perasaanku merasa nyaman.
"Enggak apa-apa kalau kamu mau tidur memunggungi aku. Aku tahu kamu kesal. Aku juga berat ninggalin kamu sendiri. Cuma mau bagaimana lagi. Keadaanya memang begini."
"Aku enggak rela mental sama fisik kamu babak belur karena orang lain," sahutku, ketus. Padahal enggak ada niat buat begitu.
"Aku baik-baik saja."
"Aku yang enggak baik-baik aja."
Mas Rega diam.
Sampai beberapa menit berselang, dia bersuara pelan, "Maaf."
***
"Kabari kalau udah sampai," pesanku.
"Ehm."
Aku meraih tangan Mas Rega, dicium singkat. Dibalas sama dia berupa kecup di pucuk kepala.
"Mau oleh-oleh apa kalau aku pulang?" tanyanya sambil mundur sejengkal.
"Enggak mau apa-apa."
Mengangguk, Mas Rega bergeser pada Ibu. Sesi berpamitan berakhir kala jadwal keberangkatan terdengar menggema di langit-langit bandara.
Aku memperhatikan punggung Mas Rega. Semakin jauh dia pergi, rasa enggak rela di hatiku makin menjadi. Lalu sesudah badannya yang tinggi itu hilang di antara gerombolan, Ibu mencolek lenganku. Mau enggak mau, aku beranjak dan menyusul Ibu yang berjalan lebih dulu.
***
Aslinya aku enggak keberatan di rumah sendirian. Toh, selain pas malam, rasanya sama aja kayak hari-hari biasa saat Mas Rega kerja. Tapi berhubung Mama mertua kukuh mau nemenin, yang mana bikin aku enggak enak hati, aku terpaksa---dalam artian lain---tinggal di rumah Ibu selagi Mas Rega pergi.
Beneran, deh. Selama ini tuh aku selalu nyari alibi pas diminta nginep. Bukan apa-apa, ya. Aku cuma enggak suka kalau pada akhirnya aku sadar sama keadaan Ayah yang belum baik-baik aja. Ditambah, otakku kadang suka nyama-nyamain Ayah kayak robot yang enggak bisa berfungsi tanpa alat-alat medis itu, dan hidupnya bergantung pada selama apa mereka bisa melakukan tugasnya.
Tapi sekarang, aku enggak bisa menghindari kenyataan.
Tepat di depan mataku, Ibu sedang mengganti baterai LVAD Ayah.
Aku tahu, Allah enggak bakal mengabulkan doa buruk hamba-Nya. Meski gitu, untuk ke sekian ratus kalinya, aku tetap minta agar donor jantung sehat segera ada. Yang artinya, aku mengharapkan kematian seseorang demi mempertahankan Ayah di dunia. Begitu aja dadaku terasa sesak. Aku menghela napas berat diam-diam setelah memalingkan wajah. Lalu menyeka ekor mata yang basah.
"Tau lah. Ayah enggak pernah mau dengerin Ibu," kata Ibu, entah karena apa. Tapi dari nada suaranya, kentara banget beliau kesal.
Aku menoleh, mendapati Ayah sedang mengancing kemeja. Sementara, Ibu membereskan peralatan yang baru digunakan sebelum menghentak bangkit tanpa pamit. Beliau berlalu ke dapur, korden yang menjuntai di kusen tanpa pintu disibak dengan kasar.
"Ibu kenapa, Yah?"
Mengedikkan bahu acuh tak acuh, Ayah menatapku. "Mas-mu tahu kamu nginep di sini?"
Aku mengangguk.
"Listrik, kompor dan kran air enggak lupa dicek, kan?"
"Iya, Yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...