part 29

321 31 14
                                    

(Marwah Syaiqila-Sekarang)

•••

"Karet gelangnya putus," jawabku, acuh tak acuh. Tetap sibuk memotong wortel.

"Pitanya di mana?"

"Kamar."

Mas Rega melepas tangan. Rambutku yang semula ditahannya kembali tergerai bebas di punggung. Lewat ekor mata, aku menangkap siluetnya keluar dapur setelah menyibak tirai di kusen tanpa pintu penghubung ruang.

Enggak lama kemudian, dia masuk lagi sambil bawa sisir dan pita. Lalu tanpa segan mulai menyisir rambutku secara perlahan, pun sesekali merapikan beberapa bagian.

Aku enggak bereaksi apa-apa. Mas Rega yang memilih ngalah membuatku lumayan jengkel. Ya, aku tahu dia melakukannya demi menjaga perasaan Ayah-Ibu. Enggak mau mereka curiga. Cuma, nada bicara dan ekspresi Mas Rega enggak bisa bohong. Kelihatan banget di mataku kalau sebenernya dia masih belum bombong.

Itulah kenapa aku sengaja menghindari Mas Rega. Salah satunya dengan bantu Ibu masak buat makan malam, meski akhirnya dia nyamperin ke sini juga.

"Belum mandi itu, Kak," adu Aliyah yang duduk di seberang sambil metik kangkung.

Aku menendang pelan kakinya di bawah meja, mendelik memperingatkan. "Diem!"

Aliyah nyengir. Jarinya membentuk huruf V.

"Iya, Al," sahut Mas Rega, enteng. Tangannya cekatan mengikat rambutku. "Kakak kamu memang paling susah disuruh mandi."

"Ish." Mendesis jengah, aku menekuk wajah. Memotong wortel di talenan dengan kasar sampai bunyi ketukan pisaunya terdengar brutal.

Mas Rega beringsut ke kulkas, meraih bergo hitam di atas sana dan kembali menghampiri meja. Lantas menahan tanganku, mengambil alih pisau yang kemudian diletakan ke baskom berisi irisan wortel. Aku mendongak. Sebelum sempat melayangkan protes, Mas Rega udah lebih dulu memakaikan kerudungnya.

"Mau ada tukang galon," jelasnya. Bibirku terkatup. Sesudah membenahi anak rambut di sekitar pelipis, dia menempatkan diri di kursi sebelah. "Ibu ke mana, Al?"

"Ke luar, Kak. Beli garam."

Mengangguk, Mas Rega menoleh ke arahku. Enggak ngomong apa-apa. Tapi arti tatapannya gini kira-kira, "jangan ditunda lagi. Hari ini juga kamu harus bicarakan sama Ibu."

Alhasil aku jadi langsung mati kutu. Huh, dasar orang enggak sabaran.

Untungnya saat itu Mas-Mas Galon datang. Mas Rega pun beranjak untuk membuka pintu belakang. Aku terselamatkan. Napas yang rasanya tertahan di dada, aku hembuskan diam-diam. Lega.

"Satu air mineral sama enam isi ulang kan ya, Pak?" tanya si Mas galon.

"Iya, Mas." Mas Rega membenarkan. Detik selanjutnya, suamiku dan si Mas itu gantian ngangkut galon dari luar ke dalam. Sementara, aku kembali melanjutkan kegiatan.

"Ternyata bener ya kalau tipe ideal laki-laki sebagai pacar dan tipe ideal laki-laki sebagai suami itu bertolak belakang."

"Sotoy," responku, sekadarnya. Debur air yang dituang ke tempat penampungan terdengar. Antara Mas Rega atau si Mas Galon yang melakukan, aku enggak berminat memastikan.

"Ibu yang bilang." Aliyah membuang sisa-sisa batang kangkung yang enggak kepakai ke ember. "Katanya, dulu pas jamannya pacar-pacaran, Kakak tuh sukanya laki-laki yang kayak anak band, yang penampilannya agak berantakan, receh dan paling pinter bikin terbang. Terus juga seumuran. Berbanding terbalik sama Kak Rega yang ke-bapakan, orangnya serius, rapi dan pendiam."

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang