part 36 (b)

152 20 2
                                    

"Tadi namaku disebut pas doa bersama."

Tersenyum lembut, dia menyahut. "Kita enggak pernah tahu doa siapa yang diijabah lebih dulu."

Mendengar itu, dadaku kontan bergelenyar terenyuh. Di dalam sini seolah ada yang runtuh. Bercerai berai enggak berbentuk.

Setelah ini tangan siapa lagi yang mau kamu pinjam, Mas?

Tenggorokanku tercekat. Hawa panas merebak di mata.

Oh, ya Allah. Kau yang paling tahu sebesar apa suami hamba mencintai hamba. Hamba mohon, ya Rabb, izinkan hamba menemani dia sampai tua. Ada banyak bakti yang ingin hamba lakukan. Ada banyak cinta yang harus dibalas.

"Mar?" Mas Rega menegur heran pasal aku yang malah enggak berkedip menatapnya.

Aku buru-buru berpaling sembari menyeka pojok mata yang basah. Bisa panjang urusannya kalau dia tahu dan mengira aku kenapa-napa. "Doa yang dipanjatkan bersama-sama itu peluang diterimanya lebih besar, ya, Mas?" tanyaku, sekadar mengalihkan fokus Mas Rega. "Kalau enggak salah denger, gitu kata ustadz di depan."

"Ayo, ngerumpi nih pasti," kata Mas Rega, enggak terkesan menuduh.

"Ih, enggak." Sangkalku. Sesudah jejak air di mata kering sepenuhnya, aku menoleh lagi ke arah Mas Rega. "Ibu-ibu di dekatku yang pada ngobrol."

"Ngomongin aku, ya?" tebaknya, santai.

"Kok tahu?"

Mas Rega mengedikkan bahu. Lantas meluruskan pandang.

Menyeringai jail, aku menggodanya. "Ibu-ibu itu pada bilang kamu ganteng, tau. Katanya, perawakan kamu gagah dan tinggi. Hidungnya juga mancung. Mirip artis-artis di tv."

"Hem," responnya, enggak berminat.

"Ge'er nih pasti?" Ledekku.

"Enggak."

"Ah, masa?" Aku membandel.

"Hem."

"Kok aku enggak percaya." Masih aku coba, pengen lihat reaksinya. Sayangnya, dia malah memilih enggak bersuara.

Yah. Gitulah dia. Lagian ngarep apa si aku? Mas Rega salting gara-gara dapat pujian orang? Ck! Enggak mungkin.

Aku berdeham kikuk.

"Jadi gimana?" tanyaku. Kembali ke pertanyaan awal. Sekaligus berusaha menyambung obrolan. "Doa yang dipanjatkan bersama-sama punya peluang diterima lebih besar?"

"Iya. Asal enggak ada penyakit hati yang membersamai." Mas Rega melirikku. "Sebab hati yang tulus ikhlas bisa mengetuk pintu langit dan memudahkan diijabahnya doa."

"Ooo, gitu ya?" Kepalaku manggut-manggut. "Pantes tadi ustadz-nya wanti-wanti ke para hadirin buat maafin orang-orang yang barangkali pernah nyakitin. Ngajakin istighfar juga buat bersihin hati dan pikiran."

"Ehm."

"Terus kalau tawasul itu kayak kita menggunakan perantara buat menyampaikan pesan, kan? Bisa melalui para kekasih Allah, kayak yang barusan kita semua lakuin, bisa juga dengan amal saleh, semata-mata karena mengharap ridha Allah ... Eh, iya enggak?" Aku mendongak.

Mas Rega mengangguk kalem. "Cuma, masih ada sebagian orang yang kadang salah dalam mengamalkan. Mereka enggak menjadikan orang-orang saleh tersebut sebagai perantara, melainkan tempat meminta ...."

"Punten." Sela seseorang, ragu-ragu.

Aku dan Mas Rega refleks berbalik badan, tepat di dekat mobil. Mendapati Ahmad udah berdiri di belakang.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang