(Marwah Syaiqilia–Beberapa bulan lalu)
•••
Setelah baca pesan di hp Mas Rega, jujur aja hatiku langsung kebakar. Imajinasi juga melayang ngebayangin hal yang bukan-bukan. Bahkan sampai su'uzon, mengira kalau dia selingkuhan Mas Rega, dan anak yang dimaksud itu anak mereka. Sayangnya, aku enggak bisa bereaksi apa-apa. Di rumah Mama lagi ada acara, enggak etis kalau aku sama Mas Rega kelihatan enggak akur. Makanya, meski gondok setengah hidup, aku tetap bersikap biasa. Masih bisa senyum dan ketawa pula. Cuma, fisikku enggak bisa dipaksa sejalan. Berawal dari tegang di area perut, mual, lalu kepala nyut-nyutan yang pada akhirnya bikin aku ambruk di depan banyak orang.
Singkatnya, aku dilarang keluar kamar. Dan selagi Mas Rega di bawah, aku putuskan buat nelpon si pengirim pesan, meminta penjelasan. Dia ternyata istri Tomi. Namanya Sarah. Kita ngobrol berjam-jam. Kebanyakan diisi saling sela dan adu argumen, bikin bahasan muter enggak keruan. Terlebih pas dia ngasih statement seolah suamiku yang memang harus bertanggungjawab membereskan masalah kantor. Jadi, aku pun ngajak dia berbicara tatap muka. Tapi alih-alih lega, sesudahnya aku malah galau enggak ketulungan. Mood berantakan.
Pertama, sebab selama ini Mas Rega diam-diam masih nyari Tomi, dan sekarang udah tahu dia ada di mana. Ke dua, Sarah yang aku kira sengak dan angkuh, enggak lebih dari perempuan yang lagi putus asa nyari suaminya. Dia bahkan enggak malu mohon-mohon sambil nangis, minta aku bujuk Mas Rega biar mau bantu dia. Di sana aku masih bergeming. Maksudnya, suamiku udah berbuat banyak demi Tomi. Uang, pekerjaan dan nama baik. Masa iya masih harus repot mikirin nasib anak mereka yang katanya sampai sakit saking kangennya sama si papa ... Enggak. Hati nurani sebenarnya terusik denger itu, ingat aku pas kecil, yang kalau Ayah ke luar kota jadi suka duduk di teras, berharap beliau pulang. Juga ngebayangin seandainya aku ada di posisi Sarah, yang harus bohong setiap kali ditanya, "Ma, Papa mana?" Dan mendadak merasa maklum dengan sikap Sarah yang terus merongrong Mas Rega seakan enggak punya malu.
Udah. Malamnya aku lunas enggak bisa tidur. Bergerak lasak enggak keruan, pening karena isi pikiran berhamburan. Habis subuhnya, Mas Rega langsung ngajuin selusin pertanyaan. Dia yang juga ikut begadang sambil memijat kepalaku jelas enggak bakal diam.
"Jangan bilang enggak ada apa-apa." Tandas Mas Rega selagi aku sibuk nyari alasan. "Sejak pulang dari rumah Mama, aku sudah sadar dengan gelagat kamu. Kalau nanti aku tahunya bukan lewat mulut kamu, aku bisa saja marah ke kamu."
"Kamu mana mungkin marah." Aku pengen ngulur waktu. Beneran belum siap ngomongin ini. Atau lebih tepatnya takut sama feedback-ku nanti. "Kesabaran kamu kan setebal tembok cina ...."
Mas Rega bangkit. Tadi posisinya berbaring di pangkuanku. Sekarang, dia menatap lekat tepat di mata. Aku menelan ludah susah payah. Nyali seketika melempem kayak kerupuk disiram air. Raut serius Mas Rega emang enggak pernah gagal bikin lawan bicaranya terintimidasi. Enggak heran dulu dia cukup disegani meski usianya terbilang paling muda di jajaran para petinggi.
"Aku paling enggak suka kalau kamu sudah mulai nyimpen rahasia."
Bibirku merapat. Duh, kudu gimana ini?
"Mar?" panggilnya, penuh tuntutan. "Kenapa? Soal Mbak Susan?"
Aku agak tersentak karena Mas Rega malah bawa-bawa Mbak Susan. Cepat-cepat aku menggelengkan kepala. "Bukan, Mas."
"Terus?"
"Ehm ...." Bimbang bukan main. Aku membasahi bibir. Lalu menelan ludah. Rasanya kayak ada yang nyangkut di tenggorokan. "Kalau aku ngomong, kamu janji mau dengerin sampai selesai? Enggak bakal cubit bibir aku?"
Dia enggak langsung setuju. Wajahku ditelisiknya sedemikian rupa.
"Ini tentang aku ... Oh, ralat. Tentang kita. Aku, kamu dan seseorang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Romance#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...