part 31

248 26 2
                                    

(Marwah Syaiqila–Sekarang)

•••

Tekanan darahku naik. Dokter Fatma mengharuskan aku rawat inap, sekalian nunggu hasil tes dua hari lalu keluar. Ayah-Ibu dan Mama-Papa udah bolak balik gantian membesuk sejak kemarin. Mbak Rahma juga. Kalau Mbak Susan serta yang lain, kata Mbak Rahma, memang sengaja enggak datang karena dilarang Mas Rega.

Parah banget kan suamiku itu?

Aku aja sampai ternganga enggak percaya, berulang kali memastikan ke Mbak Rahma. Lalu begitu Mbak Rahma mengangguk, aku buru-buru menghubungi mereka sambil ketar-ketir, takut sama respon si penerima yang mungkin tersinggung atas sikap Mas Rega.

Tapi syukur Alhamdulillah-nya, enggak ada yang gimana. Semuanya udah paham betul tabiat Mas Rega. Bahkan Oma Tari sempet ketawa dan bilang, "Rega udah dari bocah kayak gitu. Istilah Jawa-nya wangkeng. Kalau sekali jangan ya jangan. Cuma itu anak baiknya MasyaAllah, Mar. Loman banget sama keluarga. Paling diem pula di antara cucu-cucunya si Mbah. Jadi ya udah. Tanpa diminta pun, sekeluarga bisa dengan sendirinya menghormati segala
keputusan dia. Termasuk perkara besar sekelas mundur dari perusahaan. Hal semacam ini mah bukan apa-apa, Mar. Enggak usah minta maaf buat Rega."

Di sana, aku merasa lega. Sayangnya enggak bertahan lama sebab beberapa menit setelah Mbak Rahma pulang, Dokter Fatma masuk ke ruang rawat sambil membawa hasil lab. Mengingat biasanya pasien yang dipanggil ke ruang Dokter, bukan Dokter yang nyamperin ke ruang rawat, firasatku kontan enggak enak seolah ada sesuatu yang buruk.

Dokter Fatma mengajak basa-basi sebentar sebelum membuka sesi penjelasan. Tab di tangannya berfungsi menunjukan visualisasi hal-hal yang lumayan sukar diterangkan cuma lewat lisan. Aku sempat menahan napas selama mendengarkan. Mas Rega yang sadar mengusap punggungku diam-diam selagi serius menyimak. Posisinya berdiri tegak di samping brankar, menghormati Dokter Fatma yang memilih tetap berdiri alih-alih menduduki kursi. Penjelasan ditutup dengan gambaran sederhana mengenai beberapa terapi, salah satunya terapi MgSO4, yang harus segera aku jalani.

Dan segera yang dicetuskan bukan besok atau lusa. Melainkan langsung pada malah harinya, tepatnya ba'da isya.

Ditemani Mas Rega, aku dibawa ke ruang khusus. Dia yang fobia jarum suntik udah keliatan pucat sejak tindakan pertama yang aku terima berupa memasang infus RL, tapi tetap setia di sampingku sampai serangkaian prosedur selesai. Alhasil, aku jadi bisa sedikit legawa---seenggaknya aku enggak melewati hal ini sendirian.

Besok sorenya, aku kembali ke kamar rawat setelah sebelumnya dokter memastikan keadaanku baik-baik aja.

"Sebenernya aku tuh udah boleh pulang tahu, Mas," kataku, duduk bersila di atas brankar.

"Lusa ada kemungkinkan kita diminta datang lagi. Daripada bolak balik, lebih baik nunggu di sini."

"Ya, iya si. Cuma kan ...." Aku menelisik penampilanku. Daster lengan panjang, kerudung instan dan lengan bebas infus. Beneran style rumahan. "Aku udah terkesan sehat banget nget nget. Masa iya masih nginep. Berasa kek numpang tidur jadinya."

"Ya enggak apa-apa," sahut Mas Rega, santai. Kulit apel di tangannya udah setengah bersih.

"Uangnya sayang, Mas. Mana kamu ngambilnya yang VVIP lagi."

Mas Rega mengabaikan ucapanku. Dia paling enggak suka kalau aku udah mengkhawatirkan soal uang. Baginya, urusan nafkah materi adalah tanggungjawab laki-laki sepenuhnya, enggak seharusnya seorang istri diberi beban untuk ikut pusing memikirkan. Aku pun merapatkan bibir, menautkan tangan di pangkuan. Ya udah, lah. Terserah dia.

Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang