(Beberapa bulan lalu – Rega Damasatya)
•••
Ranjang berderit pelan. Tak lama suara pintu yang dibuka perlahan, terdengar.
Mataku mengintip secelah, siluet Marwah tertangkap sebelum daun pintu kembali rapat. Ada dua kemungkinan kenapa dia keluar kamar. Jika bukan untuk mengisi gelas, sudah pasti jawabannya adalah makan. Bukan kebiasaan baru, memang. Tapi, tetap sukses membuat kantukku buyar. Jadi, aku pun menyibak selimut dan beranjak dari dipan.
Lampu keorenan yang menjadi satu-satunya penerang memandu langkahku sampai dapur. Begitu tiba, aku memergoki Marwah sedang membuka lemari gantung. Kakinya berjinjit-jinjit. Tangan terulur menggapai-gapai sesuatu di dalamnya.
Aku bersandar pundak ke tembok sambil bersedekap, menunggu. Seperti dugaanku, dia mengambil satu bungkus mie instan yang sengaja aku simpan di rak paling atas.
Menggeleng samar, aku berdeham keras. Bahu Marwah refleks menjengkit kaget. Ucapan istighfar lolos dari bibirnya.
"Sahur, Bu?"
Marwah berbalik. Aku menegakan badan dan menekan saklar. Suasana remang kontan benderang. Wajah gugup Marwah nampak jelas sekarang. Satu tangannya diam-diam disembunyikan di belakang. Dia tahu betul jika aku melarangnya makan mie instan lebih dari dua kali sebulan. Dan baru saja dia berniat untuk melanggar.
"Mas, kok bangun? Aku enggak berisik padahal."
Aku mendekat, berdiri di depannya. Mataku melirik panci di atas kompor. Air yang tertampung begolak kecil. Ada asap dan gelembung yang meletup-letup.
"Sudah mendidih."
"Eh?" Dia menoleh ke kompor.
Tanganku terulur mematikan kompor. Bertanya, "Mau masak apa?"
"Ehm ...." Kembali menghadapku, Marwah membasahi bibir. Bola matanya bergerak resah, tanda sedang mencari alasan.
Tanpa aba-aba, aku menarik halus pinggang Marwah sampai badan kita berbenturan. Mie instan yang diselipkan di karet pinggang celana,---tersembunyi di balik baju---meluncur jatuh.
"Aku baru tahu kalau kamu bisa main sulap. Bukan kelinci atau burung lagi yang muncul. Tapi mie instan."
Pipi Marwah mengembung. Bibirnya mengerucut menahan malu.
Tak kuasa, aku pun terkekeh pelan sambil mengacak-acak pucuk kepalanya. Entah aku yang terlalu tua, atau memang tingkah Marwah yang ... Apa, ya. Menggemaskan, barangkali? Sampai-sampai, di waktu tertentu, aku merasa memiliki adik perempuan. Alih-alih wanita dewasa sebagai pasangan.
"Duduk, gih, biar aku yang bikinin."
Mata Marwah membulat. Ada binar yang terpancar. "Beneran? Maksudnya, boleh?"
"Ehm. Khusus hari ini."
"Widih." Marwah tersenyum lebar. "Bapak-nya habis ketempelan atau gimana, nih? Tumben-tumbenan pendiriannya bisa bengkok."
"Enggak mau?"
"Ih, bukan ... Ck." Dia merengut. Perubahan ekspresinya sangat signifikan. "Baperan banget, si, jadi orang."
Aku memungut mie yang tergeletak mengenaskan. Lalu mengedikkan dagu ke kursi meja bar. Marwah melakukan apa yang aku isyaratkan.
Bermenit-menit kemudian, satu mangkuk mie instan kuah aku dihidangkan di depan Marwah. Lantas menempatkan diri di seberang.
"Makasih," katanya, semringah.
"Hati-hati, panas."
Teguranku tak diindahkan. Marwah langsung menyendok kuah, meniup sebentar sebelum melahapnya sambil bermain gawai. Aku memperhatikan dalam diam. Lalu menuangkan minuman ke gelas dan diangsurkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Tiga Muanaqah. (Sekuel BSP)
Lãng mạn#Romance_islami (JANGAN NYARI ADEGAN PETOK-PETOK DI SINI) Kamu adalah titik tiga muanaqoh yang aku pilih untuk berhenti, Mar. Aku tahu kamu akan menyebutku lebay. Atau berkata, "ih, geli!" Namun, percayalah, aku tak sedikitpun memiliki niat untuk me...